BAB 1 “Singgah di Rumah yang Salah”

        “Tok-tok-tok!”

“Rin?! Rin… ayo kita berangkat ke kampus!”

“Tok-tok-tok!”

“RINTIK LO UDAH BANGUN BELUM SI?!”

“RIN?!”

Alanna, sahabat perempuan Rintik itu terus mengetuk-ngetuk pintu kosan sahabatnya. Ia berteriak lebih keras sampai bisa mendapatkan sautan dari dalam kamarnya Rintik.

“Mba mba! Jangan teriak-teriak gitu di kosan saya. Nanti penghuni kosan lainnya jadi terganggu” 

“Eh… ada bu Ningrum, hehe... Iya maaf ya bu saya jadi teriak-teriak di kosan ibu. Soalnya saya lagi ada perlu sama Rintik. Rintiknya ada kan, bu?”

“Neng Rintik kayaknya ada mba, saya lihat jam sebelas malam dia baru pulang ke kosan. Mungkin neng Rintiknya kacakpekan”

“Oh gitu ya bu, ya udah makasih ya bu”

“Aduh gimana nih? Acara bedah bukunya kan dimulai setengah jam lagi. Rintik belum bangun juga. Gue coba ketuk pintunya sekali lagi deh”

Sebelum Alanna mencoba mengetuk pintu kamar yang kesekian kalinya, kali ini Rintik lebih dulu membukakannya.

“Lo ngapain si pagi-pagi gini udah bikin keributan di depan kamar gue?!”

Iya, itu Rintik. Nama lengkapnya Elmyra Rintik Bestari. Ia salah satu mahasiswa akhir yang sedang merantau dari tempat tinggalnya di Bandung.

“Akhirnya… lo bangkit juga! Lo liat dong ini udah jam berapa?! Acaranya bentar lagi mau dimulai Rin”

“Acara apa si?”

“Ya ampun, lo beneran amnesia atau pura-pura lupa si?!”

“Sumpah gue gatau acara apa yang lo maksud”

“BEDAH BUKU LO, RINTIK!”

“Stttt! Lo tuh bisa ga si ga usah teriak-teriak? Nanti bu kosan marahin gue lagi”

“Ya lagian lo nya ga paham-paham Rin. Mending sekarang lo cepetan ganti baju, kita berangkat ke kampus. Oke?”

“Harus berapa kali si gue bilang sama lo Lanna, kalau gue… gamau… dateng… apalagi jadi pemantik acara bedah buku itu! Titik!”

“Ya alasan lo gamau dateng apa?”

Rintik terdiam membuang mukanya asal, dari raut wajahnya ia seperti menyimpan beban sendirian.

“Oh gue tahu!”

“Tahu apa maksud lo?” tanya Rintik sewot

“Pasti karena Ares, kan?”

“Sok tau lo! Udah ah, lo pergi aja sana sendiri. gue mau lanjut TIDUR!” ucap Rintik kembali ke dalam kamar dan mengusir sahabatnya.

“Apa si yang gue gak tahu dari pemikirin lo yang sempit ini? Gak ada alasan lain yang bisa lo jawab Rin. Lo pasti canggung kan mau bedah buku itu karena Ares adalah tokoh yang lo ceritain di dalam bukunya”

“SALAH SATU TOKOH Lanna, not only him!”

“Iya udah kalau gitu buktiin dong ke semua orang, kalau apa yang lo tulis itu bukan hanya untuk Ares semata”

“Gue gamau Lanna. Waktu tadi malem gue minta izin sama dia untuk bedah bukunya aja, jawaban dia seolah menolak gue bedah buku itu. Terus malah nyaranin gue buat bedah buku yang lain”

“Justru itu, ini kesempatan lo buat balas dia dengan sengaja bedah bukunya. Dia pasti ngeliat lo di sana”

Rintik terlihat mempertimbangkan masukan dari sahabatnya itu. Apa yang dibilang Lanna ada benarnya juga.

“Hhhhh… ya udah deh”

“Nah gitu dong. Ini baru sahabat gue! Semangat!”

Rintik dan Alanna, mereka berdua memutuskan untuk datang ke acara literasi yang diselenggarakan oleh salah satu UKM di kampusnya tersebut. kebetulan yang jadi ketua penyelenggara adalah Aresta Sanggara atau biasa disapa Ares.

Ares pernah menjadi sosok sahabat yang cukup baik dan dekat dengan Rintik satu tahun lamanya. Tapi setelah kejadian buruk yang menimpa hubungan persahabatan mereka, akhirnya kini keduanya saling berjarak layaknya orang asing.

“Baiklah hadirin sekalian, untuk acara selanjutnya kami mengundang salah satu penulis yang nama penanya sudah tidak asing lagi di kampus kita. Dia ini sudah menerbitkan tiga buku ber-genre romance, novel, dan sastra. Sekarang salah satu karyanya yang berjudul Singgah di Rumah yang Salah akan kita bedah. Pasti teman-teman sekalian sudah penasaran kan seperti apa penulis dan juga bukunya? Tanpa berlama-lama lagi kita panggilkan, NUM SAWARA…”

“Ayo Rin, semangat!” seru Alanna menyemangati sahabatnya naik ke tempat yang disediakan.

Rintik menduduki kursinya, ia ditemani seorang moderator dalam acara bedah buku tersebut. Ia sama sekali tidak terlihat tegang atau gugup berada di depan banyak orang untuk mempresentasikan hasil karyanya. Namun pandangannya itu seolah tak berhenti mencari seseorang.

“Ares mana si? Kok dia ga keliatan?” Rintik membatin dalam dirinya, ia berusaha fokus meskipun hatinya ingin Ares melihat dirinya.

“Oke kak. Sebelumnya terima kasih sudah menyempatkan hadir di acara bedah buku ini, jujur aja kita udah gak sabar untuk tahu lebih jauh mengenai salah satu buku kak Num yang berjudul Singgah di Rumah yang Salah. Karena dari pertama kita baca judulnya aja, buku ini tuh seolah punya makna yang dalam banget gitu. Nah… boleh ga si kak kita tahu dulu apa latar belakang kakak mengambil judul ini?”

“Baik. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman semua yang telah mengundang num sawara untuk terlibat dalam acara besar ini. Bagi saya, ini adalah kesempatan sekaligus forum yang cukup berperan untuk kita bisa lebih mengenal literasi. Terkait makna atau alasan saya mengambil judul buku itu sebenarnya tak terlepas dari pengalaman saya pribadi. Tentang makna sebuah rumah yang memberi kenyamanan, ketenangan dan menjadi tempat saya pulang dari kelelahan. Hingga saatnya, rumah yang saya singgahi selama ini ternyata tidak benar-benar berpenghuni. Maksudnya, saya seringkali kebingungan mencari seseorang yang sebelumnya memberikan tempat untuk saya tinggal dan kembali tumbuh. Ketika saya belum pulih dari peluh, belum lekas dari luka, seseorang yang saya anggap sebagai rumah ternyata meninggalkan saya di dalam ruang sendirian. Mejadikan saya kebingungan dan kesepian, hingga pada akhirnya sang penghuni memberikan saya luka baru disaat luka lama belum benar-benar pulih”

“Aduh… bener-bener mendalam banget ya kak maknanya. Saya sampai terharu loh, dari judulnya aja udah bikin kita melow dan nostalgia… karena bener, saya sendiri pun pernah merasakan ada di posisi itu kak. Dan saya yakin siapapun yang pernah mengalami hal serupa juga akan relate dengan cerita yang kakak tulis ini”

“Yap. Betul sekali kak moderator. Karena tujuan saya menulis buku ini pun salah satunya adalah menemani teman-teman pembaca untuk tidak merasakan perasaan ini sendirian”

“Setuju-setuju kak Num”

“Maaf… Jadi sebenarnya ini bedah buku atau bedah perasaan, ya?”

“Bener banget kak Num, ngomongin soal bedah perasaan malah bikin kita deg-degan”

“Serius kak. Saya di sini lebih merasa di-roasting ketimbang jadi pemantik hehe. Padahal ini baru masuk judulnya, belum sampai kepada kata pengantar dan isi”

Acara bedah buku berlangsung tertib, semua peserta dan panitia menikmati sajian materi dari Rintik. Hingga tak terasa satu jam akan berakhir, terlihat Ares yang baru memasuki ruangan lagi. Ia duduk di kursi belakang panitia. Rintik terlanjur kesal dan tidak peduli dengan Ares, dia lebih memilih untuk fokus pada menit-menit terakhir acara bedah bukunya.

“Baik teman-teman sekalian, karena waktunya sudah mau hampir habis. Saya persilahkan satu kesempatan lagi kepada teman-teman yang ingin bertanya?”

“Saya Mba!”

Seorang pria tinggi dengan rambut gondrong yang diikat rapi kebelakang mengacungkan tangannya.

“Silahkan, masnya bisa berdiri. Sebutkan nama dan pertanyaannya”

“Terima kasih kepada moderator. Nama saya Allam Bumi Putera, pertanyaan saya kepada mba Num adalah apa arti kehilangan yang mba Num tulis dalam buku singgah di rumah yang salah?”

“Oke mas Alam, boleh anda bacakan terlebih dahulu kalimat yang dimaksud?” ujar Rintik bertanya

Allam mulai mencari halaman dan tulisan yang dimaksud kemudian ia membacakannya di depan Rintik dan semua orang.

“Arti Kehilangan”

“Terkadang semesta menguji seseorang dengan kehilangan agar kita tahu seberapa penting arti kehadiran dalam kehidupan kita.”

“Terkadang semesta mengirim jauh orang tersayang agar kita mengerti arti kedekatan dia dalam kehidupan kita”

“Seperti yang terjadi saat ini, aku atau kamu kini bukan lagi kita. Melainkan sebatas manusia dengan manusia lainnya yang tak lagi terhubung”

“Baik terima kasih mas Alam.  Boleh tepuk tangan dulu  untuk mas Alam? Jujur saya merasa tersanjung ada yang membacakan bait-bait dengan seindah itu. Seolah dibacakan seperti puisi.  Oke mas, pertanyaan terkait makna kehilangan yang saya tuangkan dalam buku ini adalah saya ingin menyampaikan sebuah pesan kepada seseorang. Di mana kepergian dan pengasingan terkadang bisa menjadi bentuk pembelajaran berharga  agar seseorang bisa lebih menghargai keberadaan  kita. Maksudnya apa? Maksudnya agar setiap orang bisa menjaga  sesuatu yang ia punya sebelum akhirnya berujung penyesalan dan sia-sia”

Terkahir, Rintik tersenyum pada Alam kemudian menatap tajam Ares seolah pesan yang mau ia sampaikan  adalah untuk orang di hadapannya.

“Mantap sekali kak Num. Dari awal sampai di penghujung acara bedah buku ini saya benar-benar menikmati rangkaian kalimat yang keluar dari tulisan dan mulut kak Num Sawara. Speechless loh saya kak, sampai ga bisa ngomong apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih sudah membersamai kami di acara bedah buku.“

“Sama-sama kak, dengan senang hati”

“Oh ya sebelum acara kami tutup. Ada sedikit persembahan dari kami selaku panitia untuk mba Num yang akan diberikan langsung oleh ketua penyelenggara acara”

“Kepada kak Ares dimohon untuk maju ke depan dan memberikan simbolis sertifikat penghargaan untuk Num Sawara sebagai Pemantik acara bedah buku hari ini”

Baik Rintik atau Ares, keduanya tidak menyangka bisa terlibat dalam sebuah acara yang mempertemukan mereka secara tak sengaja. Apalagi yang dibahas ada sangkut pautnya dengan kisah perjalanan mereka. Tapi Rintik dan Ares tetap bersikap professional seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.

Rangkaian acara demi acara pun selesai. Rintik dan Ares kembali turun dari panggung. Rintik yang terburu-buru ingin menghindari Ares, namun Ares malah mengikuti di belakangnya.

“Rin Rin!”

Rintik tak ingin berbalik atau mendengar panggilan Ares. Ia tetap fokus berjalan ke depan hingga datang seseorang lain yang memanggil Rintik dengan sebutan nama penanya.

 “Mba Num!”

Rintik pun terhenti dan berbalik menuju suara yang bukan berasal dari Ares.

“Boleh saya minta tanda tangannya, mba?”

“Eh, mas yang tadi bertanya sama saya, kan?”

“Iyah betul mba. Sekali lagi, perkenalkan nama saya Allam Bumi Putera”

Ia mengulurkan tangannya di depan Rintik, dan Ares yang melihat percakapan mereka dari belakang.

“Oh ya. Saya…”

“Mba Elmyra Rintik Bestari, kan?”

“Kok mas nya tau si nama saya?”

“Ya tau atuh mba, saya kan pendengar sekaligus pembaca karya-karyanya Num Sawara. Jadi jelas saya juga tahu siapa nama asli pengarangnya”

“Bisa aja mas nya, oh ya katanya mau tanda tangan?”

“Iyah ini, mba”

“Panggil saja saya Rintik. Jangan Mba” ujarnya sambil tersenyum dan menandatangi buku yang diberikan pria  yang baru dikenalnya tersebut.

“Dari… Rintik, untuk…?”

“Bumi. Panggil saja saya Bumi”

“Oke, Bumi. Sekarang kita teman ya”

“Makasih mba, eh! maksudnya makasih Rin”

Bumi terlihat canggung  dan lucu saat bertemu dengan penulis yang ia kagumi.  Ia berharap pertemuan pertamanya dengan Rintik akan terus berlanjut meskipun ia sediri tidak tahu bagaimana caranya.

Bumi pergi, tapi Rintik yang hendak pergi juga malah terhalang kembali oleh Ares. Ares berhasil mengejar dan mencegat Rintik di depannya.

“Rin?!”

“Apa?”

“Kamu marah?”

“Menurut kamu?”

“Kenapa? Gara-gara aku gak menghadiri acara bedah buku kamu? kalau itu sorry

Sorry? Dah lah Res, aku tahu kok kamu emang ga suka kan, aku bedah buku itu?”

“Siapa bilang, Rin? Aku beneran mau lihat kamu tadi. Cuman tadi ada kendala di bawah sampe akhirnya aku yang jagain stand.”

“Masa si? Emang panitia lain pada kemana? Sampai-sampai yang jagain stand harus ketua penyelenggara”

“Ya… semuanya pada sibuk Rin”

“Aku tau itu alasan kamu aja”

Rintik akan beranjak dari hadapan Ares yang kesekian kalinya, tapi tetap gagal lagi  karena Ares berhasil menahan tangan Rintik.

“Apalagi si, Res?”

“Okay, gini aja. Sebagai permintaan maaf aku, kita jalan-jalan keliling kota. Deal?”

Dari genggaman dan juga tatapan Ares pada Rintik,  Rintik sedikitnya meluluh. Jujur saja ia paling tidak bisa menolak ajakan Aresta Sanggara.

“Sadar Rin! Paling-paling ini cuman rayuan dia doang” batin Rintik menyadarkan diri.

“Gak! Ntar yang ada aku nungguin kamu lagi, sampe berjam-jam, akhirnya kamu kelupaan dan boong lagi”

“Ya ampun Rin. Enggak… kali ini aku serius. Janji, aku gak akan gitu lagi”

“Males ah janji-janji mulu”

“Rin?!”

“Apaaaaaaaaaaa?!”

“Untuk terakhir kalinya, ya? Anggap aja ini  jalan-jalan terakhir kita  sebelum kamu pulang ke Bandung. Kita pasti jarang ketemu lagi, kan?”

Rintik kembali mempertimbangkan keinginan pria di depannya. Sejujurnya Rintik ingin, tapi ia takut traumanya kembali datang saat dulu Ares sering mengingkari janjinya untuk bertemu Rintik.

“Hhhhh… ya udah aku mau. Tapi?!”

“Tapi apa, Rin?”

“Kamu udah tahu apa akibatnya kalau kamu bohong lagi kayak sebelum-sebelumnya”

“Okay siap! Thanks ya Rin”

Rintik kemudian pergi, ia sangat berharap jika Ares tidak melakukan kesalahan yang sama dan menepati janjinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMAHAMI PERMASALAHAN MANAJEMEN DAN ADMINISTRASI ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH, WAKAF DI INDONESIA

PRAKTIK JUAL BELI BUKU BAJAKAN DI MARKETPLACE LAZADA MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

MEDIASI DALAM HUKUM SYARIAH