KETENTUAN SHOLAT DI ATAS KENDARAAN
KETENTUAN
SHOLAT DI ATAS KENDARAAN
Elisa
Juliani
Masail
fiqiyah merupakan arkib atau kalimat kata majemuk yang terdiri dari dua kata
masail dan fiqiah. Masail adalah bentuk jama' taksir atau plurals dari kata
alat sedangkan fiqiah adalah kata sifat yang mendeskripsikan masa itu sendiri.
Maka jika digabungkan keduanya memiliki arti masalah-masalah yang dibahas
tentang pendekatan hukum fiqih. Masalah disini bisa berarti isu persoalan,
pertanyaan yang dipikirkan, diungkapkan, diperdebatkan atau dibahas kembali
oleh kita sekarang pada masa kontemporer. Seperti yang terkait dengan masalah-masalah fiqih
ibadah, shalat, puasa, zakat, Haji dan masalah makanan minuman yang halal dan
haram.
Seperti
yang dijelaskan di atas bahwa masail fiqiyah merupakan masalah-masalah yang
hangat diperdebatkan kembali dari hukum fiqih pada konteks saat ini atau
kontemporer, atau masalah yang sebelumnya sudah pernah dibahas pada kitab-kitab
fiqih zaman dahulu tapi kemudian memiliki momentum kembali karena ada relevansi
pada masa sekarang.
Contohnya
sholat diatas kendaraan, sholat merupakan bagian dari fiqih ibadah yang
seharusnya dilakukan persis sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW baik
sholat fardhu maupun Shalat sunnah. Begitupun sholat tersebut ada hadits nya,
dimana Nabi sudah melakukan itu akan tetapi yang menjadi perbedaan bahwasannya
kendaraan yang digunakan pada saat itu berupa unta atau kuda. Sedangkan di waktu sekarang ada berbagai macam
kendaraan, baik kendaraan pribadi seperti mobil, motor atau kendaraan umum
contohnya pesawat, kapan dan lain sebagainya.
Pandangan
sholat di atas kendaraan seperti motor, mobil, kereta, kapal, pesawat dilihat
dari sisi fiqih klasik dengan kitab mausu’ah al-fityah al-kuwaitiyah. Dalam Kitab ini sholat terdapat pada
huruf shod yaitu assolatu al rohilati
awwidabbah yang artinya sholat diatas unta biasa digunakan sebagai
tunggangan baik untuk berpergian maupun untuk membawa barang. Sedangkan rohilah diartikan seperti gabah atau sesuatu / hewan yang merangkak
di bumi layaknya kuda, keledai dan lain sejenisnya.
Dari
penjelasan tersebut, bisa kita pertegas bahwa yang dimaksud masail fiqiah
terkait sholat yang sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah saw adalah sama-sama
membahas ketentuan sholat di atas kendaraan, namun yang menjadi perbedaan
adalah jenis kendaraan itu sendiri yang tentunya akan terus berkembang seiring
berjalnnya waktu, seperti halnya kendaraan pada zaman dulu hanya ditemukan seekor unta atau kuda agar
seseorang bisa mencapai tujuan lebih cepat, tetapi pada zaman sekarang
kendaraan itu bisa berupa benda yang bergerak dengan mesin seperti mobil dan
pesawat. Dua perbedaan tersebut sebenarnya memiliki konteks yang sama tentang
kendaraan, hanya saja bentuk dan cara menaiki kendaraannya yang berbeda.
Udzur
Yang Membolehkan Shalat di Kendaraan Islam itu mudah. Ketika ada kesulitan,
maka muncul kemudahan. Demikian juga dalam hal shalat ketika berkendaraan,
seseorang diberikan kemudahan jika memang ada kesulitan. Para ulama menyebutkan
udzur-udzur atau penghalang-penghalang yang membuat seseorang boleh shalat di
atas kendaraan. Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “jika orang yang sedang
berkendara itu mendapatkan kesulitan jika turun dari kendaraannya, misal karena
hujan lebat dan daratan berlumpur, atau khawatir terhadap kendaraannya jika ia
turun, atau khawatir terhadap harta benda yang dibawanya jika ia turun, atau
khawatir terhadap dirinya sendiri jika ia turun, misalnya karena ada musuh atau
binatang buas, dalam semua keadaan ini ia boleh shalat di atas kendaraannya
baik berupa hewan tunggangan atau lainnya tanpa turun ke darat” (Al Mulakhas Al
Fiqhi, 235).
Diantara
udzur yang membolehkan juga adalah khawatir luputnya atau habisnya waktu
shalat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya mengenai hukum
shalat di pesawat beliau menjelaskan: “shalat di pesawat jika memang tidak
mungkin mendarat sebelum berakhirnya waktu shalat, atau tidak mendarat sebelum
berakhirnya shalat kedua yang masih mungkin di jamak, maka saya katakan: shalat
dalam keadaan demikian wajib hukumnya dan tidak boleh menundanya hingga keluar
dari waktunya”. Beliau juga mengatakan: “adapun jika masih memungkinkan
mendarat sebelum berakhir waktu shalat yang sekarang, atau sebelum berakhir
waktu shalat selanjutnya dan memungkinkan untuk dijamak, maka tidak boleh
shalat di pesawat karena shalat di pesawat itu tidak bisa menunaikan semua hal
wajib dalam shalat. Jika memang demikian keadaannya maka hendaknya menunda
shalat hingga mendarat lalu shalat di darat hingga benar pelaksanaannya”
(Majmu’ Fatawa War Rasa-il, fatwa no.1079).
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa sholat di atas kendaraan pada dasarnya adalah boleh
dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan.
Komentar
Posting Komentar