BAB 4 "Maaf..."
Selesai dari kedai Semesta, Rintik kembali melanjutkan perjalanan ke kosan Alanna untuk memberikan martabak yang sempat dibelinya sebelum hujan turun.
“Lana? Ini
gue bawain martabak spesial kesukaan lo. Tapi sorry banget ya martabaknya jadi ga anget lagi karena tadi di
perjalanan gue keujanan dan mampir dulu ke kedai kopi”
“Ya ampun
Rin, lo repot-repot si bawain martabak ke sini sambil basah-basahan gitu.
Kenapa ga istirahat aja si di kosan? Bukannya demam lo baru turun”
“Gapapa lah
Lan… gue udah mendingan. Lagian siapa yang tahu bakalan hujan”
“Hem…”
“Oh ya Lan.
Tadi gue ketemu sama Bum…”
Ucapan Rintik
terhenti saat ia menyadari Ares ada di belakang sahabatnya Alanna.
“Rin?” sapa
Ares pelan
“Ngapain kamu
di sini? Lana lo ngapain si biarain dia ke kosan lo?”
“Ada yang mau
aku omongin sama kamu, Rin”
“Apalagi si
Res yang mesti diomongin?! Kemarin itu udah cukup buat aku tahu kalau kamu
emang ga pernah serius sama ucapan-ucapan kamu!”
“Rin… lo
sabar ya” ucap Alanna berusaha menenangkan sahabatnya, ia tidak ingin jika
pertemuan antara Ares dan sahabatnya akan membuat keadaan Rintik sakit lagi.
“Gak gini
caranya, Lana. Gue udah ga percaya sama
dia!”
“Tapi setidaknya
kalian perlu ngobrol Rin. Mau lo maafin Ares atau enggak itu hak lo. Tapi Ares
juga punya hak untuk mengetahui penjelasannya langsung dari lo, kan?”
“Lana”
“Rin… kali
ini… aja. Ya? Kalian mau sampai kapan berselisih paham terus? Gue juga gak mau
lo sakit-sakitan dan menghindari masalah
ini. Lo harus hadapi dan lawan trauma lo, oke?”
Rintik masih
menatap ragu sahabatnya, ia benar-benar tidak ingin berbicara dengan Ares. Tapi
hati kecilnya bertanya hal yang sama seperti Alanna. Mau sampai kapan dia akan
seperti itu?
“Oke, kalau lo masih takut ngomong berdua sama
Ares. Gue temenin kalian, gue jadi penengah biar lo juga lebih tenang”
“Ya udah,
tapi lo ikut” dengan berat hati Rintik sedikit menurunkan ego untuk bisa
berbicara dengan Ares.
“Sebelumnya
aku minta maaf atas kejadian kemarin, Rin. Aku beneran gatau kalau akibatnya
bakal sefatal itu buat kamu. Tapi jujur aja, aku juga bingung kenapa
berbulan-bulan ini kamu menghindar terus. Aku kira kamu emang udah gak butuh
aku lagi dan…”
“Dan apa,
Res? Harusnya kamu seneng kan, gak ada aku di kehidupan kamu lagi? Aku jadi ga
bisa gangguin prioritas kamu lagi, kan?”
“Gak kayak
gitu, Rin. Aku kira kamu udah baik-baik aja”
“Iyah… bener
kata kamu. Kamu selalu mengira aku baik-baik aja, lebih tepatnya ‘terlihat
baik-baik aja’. Karena kamu sendiri gak pernah mau tahu apalagi cari tahu
keadaan yang sebenarnya, kan”
Aresta diam,
ia hanya menatap Rintik dengan mata yang berkaca-kaca seolah ada penyesalan di
dalam hatinya.
“Kenapa kamu
diem? Bukannya kamu yang minta buat ngomong sama aku? Apa kaget karena baru
tahu semuanya?”
“Aku mau
bantu kamu, Rin. Aku ikut bertanggung jawab atas masalah ini. Tapi aku perlu
tahu dulu kamu kenapa jadi berubah dan sering pergi?”
“Apa?! Kamu
mau tanggung jawab? Mau bantu aku keluar dari masalah ini? Gimana caranya Res?
Bahkan aku sendiri udah kehilangan cara untuk menyelesaikan persoalan ini. Aku
capek!”
“Tolong
jelasin dari awal apa kesalahan aku, Rin. Aku akuin kalau aku emang ga pernah
peka sama kamu, sekalipun kita udah sahabatan selama satu tahun. Tapi kalau
kamu ga ngomong, aku pun bingung cara menyelesaikannya seperti apa”
“Kamu beneran
mau tahu letak kesalahan kamu di mana?”
“Tolong kasih
tau aku, Rintik”
“Semua ini
berawal dari kejadian di bulan maret itu, sebelum hari di mana aku didiagnosa
terkena Depresi dan BPD”
“Apa maksud
kamu adalah hari pertemuan di mana kamu bilang tentang perasaan itu ke aku?”
“Iya… kamu
tahu? Aku butuh perjuangan yang gak sedikit untuk bisa memutuskan apakah aku
harus beneran bilang atau enggak sama kamu. Untuk diposisi itu aja aku perlu
berdebat dengan pikiran aku sendiri, Res. Aku gak bisa asal bilang gitu aja.
Butuh banyak pertimbangan dan pengorbanan. Ini seperti pertaruhan antara
perasaan dan persahabatan kita. Tapi aku juga gak bisa lama-lama ada di posisi
itu, di mana sejak awal kita ketemu sampai sebelum hari itu kamu selalu ada
buat aku. Perhatian kamu, kekhawatiran dan semua kebaikan kamu ke aku itu sudah
melebihi batas seorang sahabat. Aku pergi, kamu mencari. Aku sakit kamu
khawatir, kamu nganterin aku ke dokter, kamu bantu menebus obat, sampai makanan
aku aja kamu perhatiin. Ga hanya itu, kamu juga senang membawa aku keliling
kota hampir satu tahun lamanya. Kamu mengajak aku ke semua tempat yang belum
pernah aku kunjungi begitupun sebaliknya. Kita enjoy buat project bareng, menulis bareng, ke kampus bareng, semua hampir kita
lakukan sama-sama. Sepertinya gak ada kata lelah untuk kamu bisa membantu aku
di kota ini. Okay kalau kamu emang baik ke semua orang? Tapi apakah kebaikan
kamu itu hanya sebatas sahabat? Bahkan semua orang yang melihat kita berdua
ikut menilai juga. Cara pandang dan perlakuan kamu itu bener-bener ga wajar
buat aku yang sebatas sahabat. Kita pernah sepakat untuk tidak mendengarkan apa
kata orang! Tapi mau sampai kapan? Bahkan orang lain aja lebih peka menilai
hubungan ini daripada kamu. Makanya menurut aku ini semua ga logis kalau kamu
bilang gak ada perasaan apapun, sedikitpun kamu bilang gak ada. Ucapan kamu tuh
gak sesuai dengan tindakan kamu, Res…”
“Rin untuk
semua itu aku benar-benar minta maaf, mungkin waktu itu kondisinya aku lagi ga
fokus kearah sana. Tapi soal perasaan yang kamu bilang, mungkin benar jika
waktu itu bukan aku yang tidak memiliki perasaan sama kamu. Mungkin aku memang sudah
memiliki perasaan yang sama, tapi aku sendiri yang tidak menyadari perasaan itu
ada. Dengan kedekatan kita berdua, aku kira itu hanya sebatas ikatan sahabat”
“Res, sahabat
gak seperti itu. Aku juga perempuan yang bisa membedakan mana laki-laki yang
menganggapku sebagai sahabatnya, mana laki-laki yang memiliki perasaan lebih
dari seorang sahabat biasa”
“Ya,
setidaknya sekarang aku mengakui jika perasaan itu pernah ada, maaf Rin”
“Sebenarnya,
bukan hanya itu masalahnya”
“Lalu
apalagi, Rin? Beritahu aku semuanya”
“Masalahnya
bukan kamu tidak membalas atau menolak perasaanku. Tapi cara kamu menjawab dan
menjelaskan membuat aku terjatuh ke lubang yang begitu dalam. Kamu tau, alasan
aku mengungkapan semuanya karena aku ingin kamu lebih menjaga perasaanku, Res.
Tapi yang kudapat malam itu adalah sebaliknya, setelah dengan jelas kamu
mengatakan tidak memiliki perasaan kepadaku, kamu juga bilang kalau waktu itu
kamu sedang menunggu seseorang yang sudah pasti bukan aku. Pernyataan itu cukup
membuatku kecewa, karena secara tidak langsung kamu pun tidak menganggapku ada.
Kamu tidak bisa menjaga sekaligus menghargai perasaan ini, dan itu yang membuat
aku trauma hingga sekarang. Aku selalu takut untuk ketemu kamu, aku selalu
gugup dan merasa khawatir berlebihan. Semua memori-memori yang menghantui
kembali berdatangan jika aku harus berhadapan dengan kamu. Aku ga cukup kuat
untuk menghadapi semuanya sendiri, Res. Andai kita bisa bertukar posisi, satu
hari saja. Mungkin kamu akan paham dengan apa yang aku rasakan. Tidak ada satu
haripun yang aku lewatkan untuk tidak memikirkan masalah ini…”
“Libatkan
aku, Rin. Setidaknya sekarang aku tahu apa yang membuatmu berubah. Aku mau
bertanggung jawab, aku ga akan biarkan kamu sendirian mengatasi trauma ini”
“Bagaimana
cara kamu membantu aku keluar dari traumanya sedangkan kamu sendiri adalah
bentuk dari trauma itu?”
“Hanya ada
dua cara, Rin”
“Apa?”
“Kita lalui
ini sama-sama. Atau kamu tidak usah bertemu aku lagi selama-lamanya”
“Sebelum kamu
menawarkan cara yang kedua, aku ingin kamu melihat video ini”
Rintik
memberikan laptopnya kepada Ares, di situ terdapat beberapa video dokumentasi persahabatan mereka.
Ada satu video yang ingin Rintik
tunjukkan pada Ares. Sebuah video
mengunjungi kota bersejarah, Ares dan Rintik membuat vlog di sana. Tepatnya di atas jembatan di depan kolam. Mereka
berdua saling menyebutkan mimpi, hingga di menit-menit terkahir Rintik meminta
satu permintaan dan pesan kepada Ares.
“Aku mau minta sesuatu sama kamu untuk persahabatan kita, boleh?”
“Boleh, coba kamu bilang di kamera”
“Oke! Hallo ARESTA SANGGARA. Aku berharap persahabatan kita bisa
sampai kakek nenek ya. Semoga kamu juga gak kapok punya sahabat yang nyebelin
dan imut kayak aku. Hehe… Aku berharap, apapun masalah dan rintangan
persahabatan kita kedepannya. Kita bisa melaluinya sama-sama”
“Kamu
percaya, Res? Aku cuman bisa melihat video-video
itu disaat aku ga bisa ketemu kamu, disaat aku harus jauh dari kamu. Aku gak
bisa apa-apa, aku gak punya cara lain untuk memperbaikinya selain berjarak dan
tidak menyakiti kamu lagi”
“Tapi,
sekarang jarak itu gak perlu ada lagi Rin. Aku udah di sini, aku bakal wujudkan
harapan kamu untuk melalui masalah ini sama-sama”
“Kamu serius
mau membantu aku, Res?”
“Iya Rin.
Asal kamu janji sama aku untuk bisa lebih baik dari sekarang, kamu harus lawan
trauma kamu, kamu harus sembuh”
“Tapi aku gak
bisa janji itu Res. Aku bisa berubah kapan aja disaat semuanya gak terkendali”
“Tapi
sekarang kamu bisa hubungi aku, Rin. Kapanpun”
Rintik
mengangguk tersenyum, ia mencoba kembali membangun keercayaannya pada Ares
meskipun berulang-ulang kali dipatahkan. Tapi kali ini Rintik percaya karena ia
melihat sorot mata Ares yang berkaca-kaca saat mendengar ceritanya melawan
trauma.
“Nah… gitu
dong, kan gue juga seneng liatnya. Lo juga pasti lebih lega kan, menceritakan
semuanya sama Ares?” tanya Alanna pada Rintik
“Lo juga Res,
manfaatin baik-baik kesempatan Rintik buat lo. Jangan bikin dia kecewa lagi”
“Iya Alanna…”
Komentar
Posting Komentar