BAB 2 “Terulang Kembali”
“Ares mana si? Katanya mau jemput di sini?”
Rintik terus
mondar mandir di depan gerbang kosan, sesekali melihat jam tangannya sambil
menunggu kedatangan Ares.
“Res? Kamu di mana? Ini udah sore banget. Kita jadi ga si
keluarnya?”
Rintik terus
mengirim pesan whatsApp kepada Ares. Namun belum ada tanda-tanda chatnya terbalas hingga waktu sudah
menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
“Eh Rin, sorry banget. Tadi aku ada forum dadakan di kampus. Ini
juga masih belum kelar. Keluarnya kita ganti besok pagi aja, ya.”
Firasat
Rintik memang tidak pernah salah mengenai Ares yang memiliki beribu alasan
untuk tidak jadi datang menemuinya. Berulang-ulang kali Rintik mencoba memberi
kesempatan dan berusaha untuk mempercayainya lagi. Tapi itu sulit, karena Ares
tidak seperti sahabat dulunya lagi.
“Kenapa si Res? Kenapa? Kenapa kamu selalu
ingkar janji sama kata-kata kamu sendiri?!”
Rintik
bertanya-tanya pada dirinya sendiri sambil memandang foto dirinya dan Ares yang
ia simpan di atas lemari.
Hingga tiba
keesokan harinya, Rintik masih berharap Ares tidak akan berbohong lagi. Ia
mencoba tenang dengan melakukan olahraga pagi ke lapangan yang tidak jauh dari
kosannya. Selama itu ia memandangi ponsel berharap Ares segera memberikan
kabar. Kali ini Rintik berusaha tidak mengirim pesan duluan, karena ia ingin
tahu seberapa ingat dan pedulinya Ares terhadap janji-janjinya.
Hingga waktu
sudah menunjukkan pukul sebelas siang, Rintik baru mendapat notifikasi dari
Ares.
“Rin, aku on the way ke kosanmu sekarang ya”
“GAK PERLU! Kamu ga liat ini jam berapa? Kamu udah batalin janji
yang pertama, terus sekarang kamu juga lupa sama janji kamu yang kedua?
Jelas-jelas kemarin itu kamu bilang kita ketemunya pagi. Terus kamu baru kabarin
aku sekarang?! Kamu beneran bisa pegang omongan kamu sendiri apa enggak si,
Res?! Kamu kira menunggu itu gak capek? Kamu kira yang punya kesibukan itu
hanya kamu aja?!”
Rintik mulai
tidak bisa mengendalikan dirinya, ia meluapkan segala bentuk kekesalan dan
kekecewaan di hatinya pada Ares. Ini memang bukan pertama kalinya Rintik
meledek-ledak. Rintik seringkali jadi sangat sensitif dan pemarah saat ada yang
terjadi tidak sesuai ekspektasinya.
“Rintik, aku gak ada maksud buat ingkar janji. Tapi tadi pagi di
rumahku sedang hujan Rin”
“Kalau memang begitu, apa susahnya kamu kabarin aku tadi pagi,
Res? Bukan malah membuat aku menunggu?”
“Rin aku gatau, sorry…”
Kesal dengan
Ares, Rintik langsung mematikan handphone
nya dan melemparnya ke atas kasur.
“Arggghhhh!”
Dengan keras
Rintik memukulkan kepalan tangannya pada tembok kamar sambil menahan teriakan
dan isakan tangisnya.
“Kenapa si
Res, kamu selalu membuat aku ada di posisi ini?! Kenapa kamu ga pernah paham
sama keadaan aku sekarang?! Kenapa kamu seolah sengaja melakukan ini semua?”
Rintik
benar-benar tidak bisa menahan air matanya lagi, ia segera mengambil foto
dirinya bersama Ares di atas lemari dan membawanya ke kamar mandi. Tak ada yang
bisa ia lakukan selain membakar foto tersebut dengan rasa kecewa di hatinya.
“Lo bodoh
banget si, Rin! Lo bodoh karena harus percaya lagi sama Ares! Kenapa lo ga
pernah sadar kalau dia gak mungkin pernah berubah kayak dulu hanya karena lo
kasih dia kesempatan!”
Terkahir
Rintik mengguyur dirinya sampai seluruh tubuhnya basah kuyup di dalam kamar
mandi. Ia terduduk diam meratapi apa yang sebelumnya dipercaya akhirnya membuat
dirinya hancur juga.
Di satu sisi,
Alanna cemas karena ponsel sahabatnya tidak bisa dihubungi sedari tadi siang
hingga sore hari. Tak ingin jika sesuatu buruk menimpa sahabatnya, Alanna memutuskan
untuk pergi ke kosan Rintik dan berharap bisa menemuinya di sana.
“Tok-tok-tok”
“Rin? Lo di
dalem kan?”
“Rin?”
“Kok pintunya
ga dikunci, si?”
Alanna
memasuki kamar Rintik, dan begitu terkejutnya ia melihat seisi kamarnya
berantakan. Banyak barang-barang berserakan yang tidak berada di tempatnya.
Buku-buku, foto, kertas. Semuanya menambah kecemasan Alanna disaat ia tidak
menemukan sahabatnya.
Alanna bergegas mengecek kamar mandi yang berada di
dalam kamar sahabatnya. Ia tak kalah terkejutnya menemukan sosok sahabatnya
sudah dalam keadaan tidak berdaya.
“RINTIK?!”
Alanna
bingung harus meminta bantuan siapa selain berusaha memindahkan Rintik yang
setengah sadar ke atas kasur sendirian. Ia tidak ingin meminta bantuan kepada
ibu kos atau anak-anak kosan lainnya karena itu hanya akan membuat keadaan
Rintik semakin bermasalah.
“Ya ampun
Rin. Lo kenapa si bisa kayak gini?” tanya Alanna sedih, ia bergegas membantu
menggantikan pakaian Rintik dan menyelimutinya hingga hangat.
Rintik tidak
bisa kedinginan, kecakpekan apalagi stress. Seharusnya ia berada dalam pantauan
keluarganya atau sahabat-sahabat terdekatnya. Tapi Rintik tidak mau jika ia
sampai membebankan keluarga dan orang-orang terdekatnya.
“Badan lo
demam lagi. Gue kompres ya. GWS Rin, gue khawatir sama lo”
Selagi
menunggu Rintik sadar dan pulih, Alanna membantu membereskan kamarnya. Hingga
ia tertuju pada ponsel milik Rintik dan mencoba mencari tahu tentang masalah apa
yang sedang terjadi pada sahabatnya itu.
Alanna
menemukan chat terkahir antara Rintik
dan Aresta. Ia sudah menduga jika itu yang membuat Rintik akhirnya kambuh dan
jatuh sakit seperti sekarang.
“Bener-bener
ya tu si Ares. Emang dia gak pernah cukup apa? udah buat sahabat gue trauma
gara-gara dia ga bisa jaga perasaannya. Terus sekarang malah bikin janji dan
batalin seenaknya. Tahu gini, gue gak akan izinin Rintik datang ke acara bedah
buku itu!”
Alanna ikut
terpancing amarah, ia kecewa dengan sikap Ares yang tidak pernah mau peka dan
menjaga Rintik sebagaimana ia menjaganya.
“Gue harus
ngomong sama Ares!”
Selesai
Alanna mengurus sahabatnya. Ia diam-diam menghubungi Aresta dan meminta bertemu
dengannya secara langsung. Ares pun menyetujui, akhirnya mereka bertemu di
sebuah kedai kopi yang tidak jauh dari kampus.
“Eh Lan. Lo
udah sampe duluan?”
Alanna menatap
tajam Ares yang datang tanpa wajah berdosanya. Sedangkan sahabatnya Rintik
harus merasakan kesakitan sendirian di dalam kosan.
“Ada apa
Lana? Tumben minta ketemuan di sini?”
“Res? Lo
pernah ga si merasa bersalah dalam hidup?”
“Maksud lo
apa ya? Kok tiba-tiba ngomong gitu?”
Ares masih
kebingungan dengan sikap dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Alanna
untuknya. Ia memang merasa tak memiliki kesalahan fatal yang pernah dia perbuat
kepada wanita di depannya.
“Sebenernya…
mau lo itu apa? sampe bikin Rintik sakit sekarang.”
“Apa? Rintik
sakit? Dia kenapa, Lan?”
“ASTAGA ARES!
LO BENER-BENER KELEWATAN YA! RINTIK SAKIT LO MASIH TANYA DIA KENAPA?”
“Iya gue
beneran gatau Lan, terkahir gue minta ketemuan aja nomornya langsung ga bisa
dihubungi”
“Itu lo tau,
selesai chatingan sama lo. Rintik
udah gue temuin dalam keadaan kambuh lagi di kosannya. Lo tuh pura-pura bego
atau bego beneran si, Res?! Masa hal kayak gitu aja lo ga peka?!”
“LAN! Bisa ga
si bahasanya ga usah muter-muter. Gue beneran ga paham sama apa yang terjadi
sama Rintik”
“OKE KALAU LO
EMANG BENERAN GA PAHAM. SEKARANG GUE
KASIH TAHU LO LAGI!”
“Mba, mas
maaf ini kopi yang dipesan tadi” ucap seorang barista menghampiri, Alanna
mencoba mengecilkan suaranya.
“Oh ya mas,
makasih ya”
“Gimana Lan?
Lo coba kasih tau gue pelan-pelan…”
“Lo tau kan,
empat bulan yang lalu Rintik didiagnosa terkena Bordeline Personality Disorder setelah beberapa kali dia mencoba
melakukan hal nekat?”
Aresta
mengangguk. Ia bahkan orang pertama yang tahu hasil diagnosa itu dari Rintik.
Tapi ia kira Rintik sudah membaik.
“Ya terus
kenapa lo masih ga peka juga, Res? Lo tau ga si, kalau Rintik berjuang
mati-matian untuk bisa stabil, untuk bisa sembuh di samping dia harus
mengerjakan skripsinya di kampus”
“Sebelumnya
gue minta maaf Lan, tapi gue kira ketika Rintik menjauh dari gue. Dia udah
baik-baik aja, bahkan dia ga pernah bahas atau cerita hasil diagnosa itu lagi
ke gue”
“Ya makanya
lo jangan selalu pake perkiraan dan perasaan lo aja. Pake logika lo juga dong. Lo
tau, alasan Rintik menjauh dari lo itu apa?”
“Enggak,
mungkin karena dia emang pengen menjauh aja dari gue”
“BRRUUUUGG!”
Alanna
menggebrak meja dengan kedua tangannya, hingga suara gebrakannya itu mencuri
perhatian orang-orang disekitarnya.
“Lo tuh
bener-bener kebangetan ya Res! Pantes aja Rintik stress lama-lama sama lo. Lo
tuh beneran ga ada sedikitpun perhatiannya. RINTIK jauhin lo bukan karena emang
dia pengen jauh dari lo, Res! Dia sendiri sebenernya gamau jauh dari lo, tapi
dia harus tetep lakuin itu karena dia gak mau nyakitin lo”
“Nyakitin gue
gimana? Gue gak merasa disakitin sama Rintik”
“Ya buktinya
dia selalu luapin semua amarahnya ke elo kan. Baik secara sadar ataupun ga
sadar, Lo jadi trigger buat dia.
Karena waktu itu lo satu-satunya sahabat dekat Rintik. Harusnya lo yang lebih
paham keadaan dia, maunya dia gimana, bukan lo malah memperlakukan dia sebaliknya”
Kali ini
Aresta terdiam, ia membuang mukanya asal seolah tak menyangka dengan apa yang
terjadi dengan Rintik. Selama ini ternyata dia tidak tahu apa-apa tentang
sahabatnya, bahkan tak bertanya bagaimana kondisinya.
“Rintik…
cuman pengen… lo lebih menghargai dan menjaga perasaannya, Res. Bukan karena
pengen dibalas perasaan yang sama! Dia tuh tulus sama lo. Ketika lo menolak dia
dengan cara yang ga semestinya, dia tetap berharap bisa menjadi sahabat yang
baik buat lo!”
Komentar
Posting Komentar