BAB 3 “Kedai Semesta”
Alanna meninggalkan Ares ditengah kebingungan. Sedangkan Ares belum paham betul apa yang disampaikan oleh sahabat wanita Rintik itu.
“Maksud Lana
apa? dengan bilang gue menolak Rintik dengan cara yang tidak semestinya?”
“Gue harus ketemu
dan ngomong langsung sama Rintik, biar ga ada salah paham lagi”
***
“Gue mau
beliin martabak kesukaannya Lana deh di deket kampus, sebagai ucapan terima
kasih karena dia udah jagain gue pas lagi sakit kemarin”
Beberapa
notifikasi chat Rintik terus berbunyi,
tidak lain pesan itu berasal dari Ares yang ingin menemui Rintik. Tapi Rintik
terlanjur kesal dan tak ingin menemuinya lagi pasca kejadian kemarin yang membuat sakitnya kambuh lagi.
Selesai
membelikan martabak rasa coklat pisang keju untuk Alanna. Tiba-tiba di
pertengahan jalan menuju kosannya Alanna, Rintik terjebak hujan.
“Duh duh duh…
ujan lagi? Haduh… mana ga bawa payung”
Karena panik,
takut juga makanannya basah. Rintik berlari agak kencang hingga membuat tali
sepatunya lepas. Terpaksa di tengah kehujanan, Rintik harus jongkok dan
membenarkan tali sepatunya lebih dulu agar ia tidak terjatuh. Belum sempat
talinya terikat sempurna, tiba-tiba air hujan yang turun seketika berhenti
membasahi tubuh Rintik.
“Loh kok?”
Hujannya
memang tidak berhenti, melainkan ada seseorang yang memayungi dan melindungi
Rintik dari derasnya hujan yang turun ke Bumi.
Selesai
mengikat tali sepatunya, Rintik perlahan berdiri. Saat ia berdekatan dengan
seseorang yang melindunginya dengan payung, Rintik baru menyadari siapa pria
tersebut.
“Bumi? Kamu
Bumi, kan?”
“Ketemu lagi
kita, mba”
“Kok kamu
bisa ada di sini?”
“Hem… Gimana
kalau saya jawab pertanyaan mba di kedai kopi depan? Sekalian nunggu hujannya
reda”
“Owh… ya
udah, boleh kalau gitu”
Akhirnya
Rintik dan Bumi pergi ke kedai kopi bersama-sama. Mereka berdua tidak mengira
akan bertemu lagi bahkan diwaktu yang tidak terduga.
“Mba duduk
dulu di sini, nanti saya ambilkan handuk dan minuman hangat” ujar Bumi
memberikan satu kursi untuk Rintik.
“Oh ya,
terima kasih, Bumi”
Tak lama Bumi
pun datang, ia membawa handuk dan secangkir kopi untuk Rintik.
“Ini mba
handuknya, biar rambutnya kering. Nanti kalau dibiarin basah gitu takutnya
malah bikin mba sakit dan pusing. Sekalian juga mba cobain Capuchino Latte buatan saya, gratis! Lumayan kan untuk
menghangatkan tubuh” kata Bumi antusias sembari berbisik menyebutkan kata
gratis.
“Owh… jadi
kamu ini?”
“Saya Barista
di kedai Semesta ini, mba”
“Kok saya baru
tahu dan liat kamu di sini, ya?”
“Ya karena
saya baru beberapa hari bekerja di sini mba…”
“Owh gitu…
sempit ya dunia ini?”
“Iyah
begitulah mba, kita gak pernah tahu rencana semesta. Seperti kita yang
dipertemukan di kedai Semesta ini setelah sebelumnya dipertemukan di acara
kampus kemarin”
“Kamu kuliah
di situ juga?”
“Enggak mba,
saya kuliah di kampus sebelah ambil kelas karyawan. Pindahan si lebih tepatnya”
“Emang
sebelumnya dari mana?”
“Dari kota
kecil Ciamis, mba nya tahu?”
“Ya tahu
dong. Saya kan asli orang Bandung”
“Wah…
sama-sama orang sunda. Berarti harusnya saya panggil mba nya teteh dong”
“Kenapa si
kamu masih manggil saya mba aja? Panggil nama aja kan lebih enak”
“Lebih enak
pake mba atau teteh aja, keliatannya lebih sopan gitu”
“Keliatan
dari logat kamu, sunda dan sopan banget. Kelahiran tahun berapa?”
“Sembilan-sembilan”
“Ya berarti
sama dong, saya juga sembilan-sembilan”
“Teh Rintik
Virgo juga?”
“Saya Canser”
“Tuh kan,
tetep lebih tua teh Rintik atuh. Jadi gapapa saya manggil teh Rintik aja, ya?”
“Ya ampun
Bumi, cuman beda bulan aja”
“Gapapa atuh
teh”
“Ya udah deh,
terserah kamu aja.”
“Nah gitu
dong teh, sok atuh cobain kopi buatan saya. Pasti enak”
“Oke, aku
cobain ya”
“Gimana teh?”
“Em… ini enak
banget. Lembut terus manisnya pas. Aku suka”
“Alhamdulillah atuh kalau teteh nya suka,
sering-sering ke sini atuh teh biar saya bikinin kopi.”
“Gratis
maksud kamu?”
“Gratis lah
buat teteh mah, apa si yang enggak buat num sawara, hehe”
“Becanda
Bumi, masa gratisan terus. Nanti saya sering-sering main ke sini sambil ngerjain
naskah, ya”
“Wah… serius
teh? berarti teteh lagi nulis buku lagi dong? Judulnya apa teh kalau Bumi boleh
tahu?”
“Masih
rahasia…” ucap Rintik berbisik
“Ah si teteh
mah main rahasia-rahasiaan”
Kehangatan
antara Rintik, Bumi, kedai semesta, dan secangkir kopi ternyata menjadi awal
mula yang cukup baik untuk pertemuan mereka kembali. Harapan Bumi yang ingin
bertemu Rintik pun terwujud, bahkan bukan hanya sebatas pertemuan melainkan
menjadi pertemanan.
“Oh ya teh,
BTW teteh ngapain tadi hujan-hujanan di jalan? Mentang-mentang namanya Rintik
jadi ga takut hujan. Nanti sakit loh teh”
“Bumi… tadi
itu aku habis beli martabak buat sahabat aku, tapi tiba-tiba di pertengahan
jalan turun hujan. Terus kebetulan tali sepatunya copot, jadi aku benerin dulu
di jalan”
“Oh jadi gitu
ceritanya, maaf atuh ya teh. Kirain teh teteh sengaja main hujan-hujanan di
jalan”
“Enggak papa
Bumi. Malahan aku berterima kasih karena kamu dateng dan membuat aku jadi ga
terlalu kebasahan”
“Jadi teteh
mau nemuin temen teteh?”
“iy.. eh bentar ya Bumi”
Terlihat Ares
masih berusaha menghubungi Rintik, kali ini dia menelpon Rintik. Tapi Rintik
me-reject panggilannya.
“Kenapa
dimatiin teh? Siapa tahu itu penting”
“Gapapa Bumi”
“Teteh
baik-baik aja, kan?”
“Kok kamu
nanyanya gitu? Emang aku keliatan gak baik-baik aja ya?”
“Eh, maaf
atuh teh. Bukan maksud Bumi lancang. Tapi barangkali teteh ada masalah, teteh
bisa cerita sama Bumi. Siapa tahu Bumi bisa bantu”
“Makasih
Bumi, tapi aku beneran gapapa kok”
“Ya udah atuh
gapapa kalau tetehnya belum mau cerita. Eh iya tadi tuh kita cerita sampai mana
ya? Sampai lupa jadinya, euy”
Rintik
tersenyum melihat keramahan dan kepolosan Bumi. Tanpa Bumi berniat untuk
menghibur Rintik, Rintik sudah sangat senang dengan sikap naturalnya Bumi.
“Makasih ya,
Bumi”
“Eleuh-eleuh
si teteh malah tiba-tiba bilang makasih, saya mah ga berbuat apa-apa atuh teh
dari tadi juga”
Komentar
Posting Komentar