MEDIASI DALAM HUKUM SYARIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an
adalah kalamullah yang disampaikan
jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan pediman bagi kehidupan manusia.
Al-Qur’an memuat sejumlah pesan moral dan aturan yang mengatur perilaku manusia
agae ia dapat hidup sesuai dengan penciptaannya yang fitri dan asali. Panduan
dan bimbingan yang dibawa Al-Qur’an mencakup seluruh kepentingan dan kebutuhan
manusia dalam kehidupannya. Al-Qur’an juga memberikan petunjuk yang harus
diikuti manusia agar ia dapat hidup selamat di dunia dan akhirat. Bimbingan dan
petunjuk Al-Qur’an terintegrasi dalam hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan sesamanya (habluminallah
wa hablu minannas).
Al-Qur’an
menjelaskan ajarannya melalui aturan hukum dan penggambaran sejarah masa lalu.
Al-Qur’an juga menginformasikan sejarah manusia yang berkaitan dengan asal usul
dan pencipaan, sejarah dan perilaku umat terdahulu serta seluruh konsekuensi
dari perilaku mereka. Fokus utama ajaran al-Qur’an ditujukan kepada manusia,
karena manusia adalah makhluk Allah yang mendapat tugas memakmurkan bumi dan
menjadi khalifah Allah di bumi.
Dalam
menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah, manusia menghadapi sejumlah
tantangan berupa konflik dan kepentingan manusia yang berbeda satu sama lain.
Keragamaan, perbedaan pandangan dan kepentingan merupakan potensi konflik yang
dapat menjurus pada kekerasan. Oleh karena itu, manusia harus menangani konflik
dan menyelesaikan sengketa yang terjadi antar manusia, sehingga tidak membawa
pada kekerasan atau pertumpahan darah. [1]
B.
Rumusan
Masalah
A. Apa
saja prinsip-prinsip Mediasi dalam Al-Qur’an?
B. Bagaimana
Praktik Mediasi Rasulullah SAW?
C. Bagamimana
Mediasi dalam Sengketa Keluarga, Waris dan Muammalah?
C.
Tujuan
A. Untuk
mengetahui prinsip-prinsip Mediasi dalam Al-Qur’an
B. Untuk
mengetahui Praktik Mediasi Rasulullah SAW
C. Untuk
mengetahui Mediasi dalam sengketa kkeluarga, waris dan Muammalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip-prinsip
Mediasi dalam Al-Qur’an
Penempatan
nilai-nilai universal pada satu kategori bersifat ketat dan rigit tetapi
bersifat fleksibel. Artinya, nilai-nilai tertentu dapat saja menempati dua atau
tiga kategori dan sangat tergantung pada sejauh mana kita memaknai nilai
tersebutdalam kaitan dengan penyelesaian sengketa. Nilai yang mendsari filosofi
penyelesaian sengketa antara lain; nilai kemuliaan, kehormatan, persamaan,
persaudaraan dan mahabbat. Nilai yang harus dimiliki oleh para pihak yang
bersengketa antara lain; nilai toleran, menghargai hak-hak orang lain, terbuka,
rasa hormat, dan kemauan memaafkan. Nilai yang harus dipegang para pihak yang
menyelesaikan sengeta antara lain; nilai adil, keberanian, dermawan, yakin,
hikmah, mau’izah, empati dan menaruh perhatian pada orang lain. Sedangkan nilai
yang mendasari tujuan akhir penyelesaian sengketa antara lain; nilai kemuliaan,
keadilan sosial, rahmah, ishan, persaudaraan dan martabat kemanusiaan.
Mohammad
Abu Nimer memutuskan 12 prinsip penyelesaian sengketa (konflik) yang dibangun
Al-Qur’an dan dipraktikkan Nabi Muhammad, prinsip-prinsip tersebut adalah:[2]
1. Perwujudan
keadilan
Keadilan adalah salah
satu tema pokok ajaran Islam. Islam telah memberikan kedudukan yang adil antar
orang-orang kuat dan orang-orang lemah. Muslim berkewajiban menegakkan
keadilandan harus menolak ketidakadilan baik terhadap pesonal maupun
struktural. Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 90,
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.
Dalam
islam, keadilan Tuhan berkaitan dengan wahyu dan kebijaksanaan yang dibawa Nabi
Muhammad. Keadilan berdasarkan wahyu Tuhan dapat diterapkan pada setiap orang
dan setiap tempat.
2. Pemberdayaan
sosial
Konsep pemberdayaan sosial dalam
Islam ditemukan dalam ajaran ihsan dan khair (berbuat baik). Dua ajaran ini
telah diterapkan dalam sejarah oleh Nabi Muhammad saw dan sahabatnya.
Pemberdayaan keadilan sosial merupakan ajaran penting dalam Islam, karena
selalu terkait dengan ibadah kepada Allah.
۞ وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا
بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى
وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ
لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ ۨالَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ
وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ
فَضْلِهٖۗ وَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًاۚ
Artinya:
Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa
pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat,
ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang yang sombong dan membanggakan diri,
(yaitu)
orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan
karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang kafir azab yang menghinakan.
3. Universalitas
dan Martabat Kemanusiaan
Universalitas
kemanusiaan adalah ajaran sentral dalam islam, yang digali dalam Al-Qur’an dan
hadis Nabi Muhammad saw, Islam memandang manusia memiliki kedudukan yang sama
dalam asal-usulnya manusia dihormati karena memiliki kelebihan, martabat dan
kemuliaan dalam proses penciptannya.
4. Prinsip
kesamaan
Islam mengajarkan bahwa
penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan singkat, bila diletakkan pada
paradigma bahwa manusia berada dalam satu kesatuan seperti satu keluarga yang
memperlakukan sama setiap anggota keluarga.
5. Melindungi
kehidupan manusia
Seluruh sumber daya
mesti digunakan untuk melindungi kehiddupan manusia dan mencegah kekerasan.
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ
كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ
نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ
وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ
جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ
ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
Artinya:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa
membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan
karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua
manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia
telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang
kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi
kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.[3]
6. Perwujudan
damai
Komunikasi merupakan hal penting dalam
penyelesaian sengketa. Komunikasi secara langsung antara pihak akan lebih
produktif menyelesaikan sengketa, sehinggadapat menghindari kekerasan dan
merendahkan biaya. Pihak ketiga merupakan bagian integral dalam intervensi
pembangunan damai dengan memfasilitasi komunikasi, menghindari tensi, dan
membantu memperbaiki hubungan silaturahmi.
7. Pengetahuan
dan kekuatan logika
Kemampuan
akal dan rasionalitas memiliki peran menentukan bagi sukses tidaknya dialog
penyelesaian konflik. Dalam resolusi konflik, pendekatan rasional akan
mempercepat lahirnya kesepakatan damai, sehingga dapat menghindari timbulnya
kekerasan akal dan kebijksanaan merupakan dua nilai kebajikan dalam Islam.
8. Kreatif
dan inovatif
Kretaivitas
dan inovasi dapat melahirkan pilihan-pilihan baru yang membantu pencapaian
kompromi dengan rasa keadilan. Inovasi dapat lahir dari suatu proses berpikir
yang dikenal dengan ijtihad.
9. Saling
memaafkan
Memberi
maaf adalah perbuatan yang sangat diharapkan dalam Islam, karena maaf dapat
menyadarkan orang dalam kekeliruannya.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ
عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
Artinya:
Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan
pedulikan orang-orang yang bodoh.[4]
10. Tindakan nyata
Dalam islam tindakan
nyata berupa amal baik sangat dihargai, karena mengungkap saja tanpa
melaksanakan tidak cukup. Tuhan memberikan kasih sayang kepada orang yang
beriman dan berbuat baik.
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ
سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمٰنُ وُدًّا
Artinya:. Sungguh, orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa
kasih sayang (dalam hati mereka).[5]
11. Perlibatan
melalui tanggung jawab individu
Pilihan moral dam
leyakinan rasional merupakan prinsip Islam, karena setiap orang bertanggung
jawab terhadap segala tindakannya. Jika mereka tidak menerima pesan Allah dan
itu adalah pilihan mereka dan tanggung jawab mereka. Allah sebagai arbiter akan
meminta pertanggungjawaban mereka di hari akhir terhadap pilihan mereka.
12. Sikap
sabar
Sabar adalah suatu
kebaikan yang mesti dipertahankan orang Islam. Sabar ikut memeihara keyakinan
kuat kepada Tuhan. Kata sabar memiliki banyak implikasi makna, antara lain: (1)
sabar dalam melakukan pekerjaan, cermat, teliti dan tidak terburu-buru (2)
sabar dari kerukunan, keteguhan hati, tabah dalam berusaha mencapai tujuan (3)
sistematik dan tabah dalam menentang ketidkteraturan atau mengubah tindakan dan (4) perilaku
periang ketika mengalami penderitaan.
B.
Praktik
Mediasi Rasulullah SAW
Perjanjian
Hudaibiyah
Perjanjian ini terjadi pada tahun 6 H/tepatnya
tanggal 13 Maret 628 M. Nabi Muhammad saw memimpin sekitar seribu kaum muslimin
meninggalkan Masinah berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah umrah.
Mengikuti perintah Allah, karena itu mereka berangkat mengenakkan pakaian ihram
dan tanpa membawa senjata. Menjelang memasuki kota Mekkah, Nabi Muhammad dan
pengikutnya beristirahat di Hudaibiyah suatu wilayah di pinggir kota Mekkah.
Mereka kembali ke Mekkah sebagai pemenang dan pemimpin politik yang berkuasa
setelah pengasingan lama di Madinah. Kejadian ini dapat dipandang sebagai tahap
akhir dari konflik keras dan berkepanjangan yang dialami Nabi Muhammad saw.
Nilai dan strategi penyelesaian sengketa dapat diidentifikasi dari tindakan Nabi Muhammad saw yaitu sebagai
pemimpi politik yang berkuasa.
Beberapa prinsip mediasi yang diambil dari kejadian
ini adalah sikap negoisasi, sikap kompromi take and give, memosisikan sama para
pihak dan menghargai kesepakatan. Nabi Muhammad melakukan negoisasi dengan
pimpinan kafir Quraisy agar mereka bersedia berunding dengan kaum muslimin yang
diwakili Nabi Muhammad saw. Dalam proses mediasi kemampuan meyakinkan para
pihak yang bersangkutan untuk bersedia duduk satu meja merupakan langkah yang
menentukan keberhasilan proses mediasi selanjutnya.
Sikap kompromi take and give telah ditunjukkan Nabi
Muhammad saw di perjanjian ini. Mediator atau para pihak harus memahami bahwa
penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak mungkin mampu memenuhi seluruh
tuntutan para pihak yang bersengketa.dalam hal ini ada unsur memberi dan
menerima dari kedua belah pihak, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan satu
sama lain..
Nabi Muhammad juga menunjukkan sikap netral dalam
memosisikan kaum muslimin dan Kafir Quraisy dalam perjanjian. Para pihak yang
bersengketa harus menjunjung tinggi kesepakstan yang dicapai dalam mediasi.[6]
C.
Mediasi
dalam Sengketa Keluarga, Waris dan Muammalah
Peraturan-peraturan
yang menjelaskan proses perdamaian dan mediasi keluarga diantaranya:
a. UU
no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan[7]
Khusus dalam engketa
perkara perceraian , asas mendamaikan para pihak bersifat imperatif. Usaha para
pihak dalam mendamaikan menjadi beban dan tanggung jawab serta yang memeriksa,
mengadili dan memutuskan perceraian. Upaya mendamaikan perceraian atas daar
perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus haruslah dilakukan oleh para
hakim secara optimal. Dalam hal perkara perkawinan dengan alasan zina, cacat
badan atau sakit jiwa yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajibannya
sifat usaha perdamaian yang dilakukan oleh hakim harus tetap dilaksanakan
karena hal itu merupakan kewajiban tetapi tidak ditunut secara optimal seperti
perkara perceraian karena alasan percekcokan dan pertengkaran yang terus
menerus.
Sebagaimana pasal 39
ayat (1) UU:
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
Penyelsasian
suatu perselisishan yang terbaik adalah dengan cara perdamaian, hukum islam
mementingkan penyelesaian perselisihan dengan cara perdamaian, sebelum dengan
cara putusan pengadilan, karena putusan pengadilan dapat menimbulkan dendam
yang mendalam terutama bagi pihak yang
dikalahkan. Untuk itu sebelum diperiksa, hakim wajib berusaha mendamaikan kedua
belah pihak terlebih dahulu. Ketika hal ini belum dilakukan oleh hakim, bisa
berkakibat bahwa putusan yang dijatuhkan batal demi hukum.
Sengketa Waris
Proses
penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak letiga dalam Islam dikenal
dengan hukum berdasarkan Firman Allah swt:
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ
اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ
اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
Artinya:
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga
perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti,
Maha Mengenal.[8]
Dari penjelasan ayat di atas,
menganjurkan adanya pihak ketiga sebagai penengah atau mediator dalam
penyelesaian sengketa. Keberadaan pihak ketiga sangat penting dalam
menjembatani para pihak yang bersengketa. Keberadaan mediasi yang tidak
terlepas dari upaya mendamaikan para pihak dengan cara mengutamakan musawarah.[9]
Mediator
dalam melakukan mediasi sengketa waris dapat dilakukan beberapa hal sebagai
berikut:[10]
1. Mediator
meyakinkan para pihak yang bersengketa bahwa ia benar-benar membantu ahli waris
dalam menyelesaikan sengketa dan tidak ada kepentingan apapun terhadap sengketa
tersebut.
2. Mediator
memetakan faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa waris.
3. Berdasarkan
faktor penyebab terjadinya sengketa waris, mediator dapat menyusun pertemuan
lanjutan dengan meminta para pihak mengungkapkan keinginan dan kepentingan yang
ingin diperoleh dari penyelesaian sengketa waris.
4. Bila
mediator menemukan salah satu pihak tidak beredia menyempaiakan keinginan dan
kepentingannya, maka mediator dapat mengadakan kaukus.
5. Mediator
yang telah mendapat informasi lengkap tentang keinginan dan kepentingan
masing-masing pihak dari petemuan kaukus, maka selanjutnya mediatir
mengomunikasikan keinginan dan kepentingan tersebut dari satu pihak ke pihak
lainnya.
6. Jika
keinginan dan kepentingan masing-masing pihak sudah saling dipahami satu sama
lain, maka mediator dapat mengajak para pihak untuk membuat
kesepakatan-kesepakatan.
Mediasi dalam Sengketa Muamalah
Sengketa
mummalah adalah sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang mana
objek sengketa adalah transaksi kehartabendaan. Mediasi dalam muammalah
tertumpu pembahasannya pada akad perdamaian yang mengakhiri sengketa
kehartabendaan. Sengketa ini muncul dari adanya para pihak atau salah satu
pihak yang mengingkari atau tidak menjalankan kesepakatan yang tertuang dalam
akad yang disepakati bersama. Mediator sebelum menjalankan mediasi terlebih
dahulu memahami secara mendalam akad, objek akad dan kewajiban serta hak para
pihak yang terikat dalam akad.
Penerapan
sulh, menjadi kewajiban mahkamah syariah sebelum para pihak menyelesaikan
sengketanya melalui prosedur hukum di hadapan pengadilan. Hakim mengupayakan
para pihak bertikai supaya berdamai melakukan negoisasi dan kompromi karena
perdamaian akan mengukuhkan hubungan kekeluargaan. Hakim dapat meminta pihak
ketiga sebagai mediator untuk membantu menyelesaikan sengketa antara para pihak
melalui mekanisme mediasi.[11]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Pertama, Mohammad
Abu Nimer memutuskan 12 prinsip penyelesaian sengketa (konflik) yang dibangun
Al-Qur’an dan dipraktikkan Nabi Muhammad, prinsip-prinsip tersebut adalah; Perwujudan
keadilan, pemberdayaan sosial, Universalitas dan Martabat Kemanusiaan, prinsip
kesamaan, melindungi kehidupan manusia, Perwujudan damai, pengetahuan dan
kekuatan logika, inovatif dan kreatif, saling memaafkan, tindakan nyata,
Perlibatan melalui tanggung jawab individu, sikap sabar.
Kedua,
Beberapa
prinsip mediasi yang diambil dari kejadian ini adalah sikap negoisasi, sikap
kompromi take and give, memosisikan sama para pihak dan menghargai kesepakatan.
Nabi Muhammad melakukan negoisasi dengan pimpinan kafir Quraisy agar mereka
bersedia berunding dengan kaum muslimin yang diwakili Nabi Muhammad saw. Dalam
proses mediasi kemampuan meyakinkan para pihak yang bersangkutan untuk bersedia
duduk satu meja merupakan langkah yang menentukan keberhasilan proses mediasi
selanjutnya.
Ketiga,
Penyelsasian
suatu perselisishan dalam perkawinan yang terbaik adalah dengan cara
perdamaian, hukum islam mementingkan penyelesaian perselisihan dengan cara
perdamaian, sebelum dengan cara putusan pengadilan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Mediasi, Jakarta: Kencana, 2009.
Al Bazuri, Azzuhri. “Rekonstruksi Proses
Mediasi Keluarga Indonesia”, Disertasi, UIN
Sultan Syarif Kasim, Riau.
Hafid, Muhammad dan Arkham , Mohammad Ahsana.
“Keefektifan Penyelesaian Sengketa Waris Menggunakan Mediasi di Pengadilan”,
IAIN Metro, Lampung.
[1]
Syahrizal Abbas, Mediasi, (Jakarta:
Kencana, 2009), hlm. 113-119.
[2]
Syahrizal Abbas, Mediasi, hlm.
128-146.
[3]
QS Al-Maidah: 32.
[4]QS
Al-Ar’af: 199
[5]
QS Maryam: 96
[6]
Syahrizal Abbas, Mediasi, hlm. 171-174.
[7]
Azzuhri Al Bazuri, “Rekonstruksi Proses Mediasi Keluarga Indonesia”, Disertasi, UIN Sultan Syarif Kasim,
Riau, hlm. 113-115.
[8]QS
An-Nisa: 35
[9]
Muhammad Hafid, Mohammad Ahsana Arkham, “Keefektifan Penyelesaian Sengketa
Waris Menggunakan Mediasi di Pengadilan”, IAIN Metro, Lampung. Hlm. 17-18.
[10] Syahrizal Abbas, Mediasi, hlm. 201-202.
[11]
Syahrizal Abbas, Mediasi, hlm.
203-215
Komentar
Posting Komentar