PRAKTIK JUAL BELI BUKU BAJAKAN DI MARKETPLACE LAZADA MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
PRAKTIK JUAL
BELI BUKU BAJAKAN DI MARKETPLACE LAZADA
MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Elisa Juliani
(Pembimbing I:
Leliya, M.H & Pembimbing II: Ahmad Khoerudin, M.H)
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan
Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon
email: elisajuli99@gmail.com
Abstract
The practice of
selling pirated books in lazlazada is still often found in the community
especially in education, under the pretext of a cheap and readily available
book buyer who buys it without seeing the cost of many parties. In view of the
problem, the author feels the need to look deeper into it based on islamic law
review and positive law. The methods used in this study are qualitative by
leveraging a case study approach. The data-collection technique of observation,
interview and documentation. From his research on the practice of selling
pirated books in lazlazthere was not much different from the general practice
of purchasing, buyers and sellers could download the lazada application.
Second, the practice of selling pirated books in lazlazada is one of the ACTS
that violates the law of fatwa mui number: 1/ munas vii /5/2005 and 2014 no.
28. Third, the copyright holder's efforts to minimize piracy of books by
education.
Keywords:
bootleg, lazada, islamic law and positive law
Abstrak
Praktik jual
beli buku bajakan di marketplace Lazada masih sering ditemui di kalangan
masyarakat khususnya di lingkup pendidikan, dengan dalih harga buku yang murah
dan mudah didapat para pembeli buku bajakan tetap membelinya tanpa melihat ada
banyak pihak yang dirugikan. Melihat permasalahan tersebut, penulis merasa
perlu mengkaji lebih dalam lagi berdasarkan tinjauan hukum Islam dan hukum
positif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan
memanfaatkan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data yang dilakukan
yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Dari hasil penelitiannya praktik
jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada tidak jauh berbeda dengan praktik
jual beli pada umumnya, pembeli dan penjual bisa men-download aplikasi Lazada.
Kedua, Praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada merupakan salah
satu tindakan yang melanggar hukum Fatwa MUI Nomor: 1/MUNAS VII/5/2005 dan UU
No. 28 Tahun 2014. Ketiga, upaya pemegang hak cipta dalam meminimalisir tindak
pembajakan buku yaitu dengan edukasi.
Kata kunci: jual beli buku
bajakan, Marketplace Lazada, Hukum
Islam dan Hukum Positif
PENDAHULUAN
Hukum
diciptakan agar setiap manusia baik individu atau kelompok yang tinggal di
suatu negara dapat mewujudkan ketertiban demi tercapainya kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial. Segala kegiatan dan aktivitas yang dilakukan
oleh seseorang atau lembaga diatur segala ketentuannya baik secara tertulis
maupun tidak tertulis. Seperti halnya jual beli, transaksi yang dilakukan kedua
belah pihak antara penjual dan pembeli memiliki tata tertib atau kaidahnya
masing-masing dari segi hukum Islam dan hukum positif.
Praktik jual beli buku bajakan merupakan
salah satu kegiatan transaksi yang masih sering terjadi sampai saat ini. Bahkan
penjualan ini tidak hanya terjadi pada toko-toko buku yang beredar di pasaran,
atau tempat-tempat yang bisa dikunjungi secara langsung. Melainkan juga terjadi
dan ditemukan di Marketplace, sebuah
situs media online yang menjadi pihak ketiga dalam transaksi jual beli online. Transaksi ini cukup memudahkan penjual
dan pembeli, karena kedua belah pihak tidak perlu bertemu secara langsung. Salah
satu Marketplace yang aktif menjual
dan mendistribusikan buku-buku bajakan yaitu Marketplace Lazada. Salah satu pasar online terbesar di Indonesia yang menyediakan berbagai kebutuhan
masyarakat, termasuk kebutuhan pendidikan.
Pembajakan buku ini berakibat pada etos
dan semangat penulis menjadi berkurang karena tidak mendapatkan keuntungan
ekonomi. Jika hal demikian terus berlanjut, maka akan dipastikan tingkat minat
seorang penulis atau pencipta dalam membangun suatu karya dan literasi akan
menurun. Karena ilmu pengetahuan atau hasil ciptaannya disebarluaskan oleh
pihak-pihak yang tidak memiliki keterlibatan dalam pembentukan hak cipta itu
sendiri. untuk itu penulis merasa perlu mengkaji lebih dalam mengenai 1)
Bagaimana praktik jual beli buku bajakan di Marketplace
Lazada? 2) Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum positif di Marketplace Lazada? 3) Bagaimana upaya
pemegang hak cipta dalam meminimalisir tindak pembajakan buku di Marketplace Lazada?
LITERATUR RIVIEW
Praktik
jual beli buku bajakan di Marketplace khususnya
yang terjadi di Indonesia sudah menjadi hal yang umum dan lumrah terjadi di
masyarakat tanpa memandang profesi bahkan ekonomi. IKAPI sendiri menyebut jual
beli buku bajakan yang terjadi hingga saat ini sudah termasuk dalam bagian
industri yang sulit dipisahkan karena rendahnya pengetahuan masyarakat dan
kurangnya kebijakan terkait perundang-undangan hak cipta. Berikut beberapa
karya yang terdokumentasikan terkait permasalahan yang dikaji, yaitu pertama, penelitian yang dikaji Alvin
Lazuardi Alkhaf [1]
Penelitian ini memfokuskan kepada Relefansi perlindungan hukum anatara penulis
dan penerbit selaku pemegang hak cipta atas pembajakan buku berdasarkan
undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta. Menurutnya, membeli buku
bajakan adalah salah satu alternatif untuk mendapatkan pengetahuan meskipun
buku yang dibaca memiliki kualitas yang lebih rendah dan pada dasarnya tidak
diperbolehkan. Selain sebagai alternatif untuk tetap mendapatkan ilmu
pengetahuan, sebagian masyarakat menjadikan jual buku bajakan sebagai jalan
dalam menyambung hidup. Penegak hukum yang menangani kasus pembajakan buku
tersebut juga kurang berperan aktif terutama dalam memberikan penyuluhan kepada
masyarakat setempat, sehingga secara tidak langsung ikut membiarkan adanya
praktik jual beli bajakan. Seharusnya dalam hal ini penegak hukum bisa
bertindak tegas karena adanya pelanggaran terhadap undang-undang hak cipta
Dan kedua,
penelitian yang dilakukan oleh Risman Wisyahban tentang “Tinjauan Hukum
Ekonomi Syariah Terhadap Jual Beli Buku Bajakan di Toko Buku Kairo Kota
Bandung”.[2]
Dalam penelitian ini muncul permasalahan pokok yaitu banyaknya permintaan konsumen
terkhusus untuk buku-buku yang sudah jarang atau barang sudah tidak dijual lagi
di pasaran. Sistem dari pada jual buku bajakan ini yaitu pemilik toko buku
hanya menerima buku hasil distribusi kemudian menjualnya kepada masyarakat dan
juga mahasiswa dengan harga yang lebih murah.
Dari kedua topik penilitian yang
dipaparkan di atas, ternyata belum ada tinjauan secara khusus dan komprehensif
tentang jual beli buku bajakan di Marketplace
Lazada yang secara spesifik dikaji
dari sisi hukum Islam dan juga hukum positif. Dengan menggunakan teknik
analisis komparatif, selain nantinya akan ada perbandingan dari sudut pandang
hukum Islam dan juga hukum positif, diharapkan penelitian ini juga akan
mengungkapkan nuansa pemikiran pembaharuan dari kedua sisi hukum. Di sinilah
letak perbedaan studi ini dengan studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya.
METODE
PENELITIAN
Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (Field Research) yaitu melakukan kegiatan lapangan atau guna
memperoleh berbagai data dari indormasi yang dilakukan.[3] Proses
penelitian mengangkat data dari permasalahan yang ada di lapangan (lokasi
penelitian) yang berkenaan dengan praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada.
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode kualitatif. yaitu
suatu metode penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode yang ada.[4]
Dengan kata lain penelitian yang bertujuan
untuk memahami fenomena-fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara keseluruhan, seperti perilaku, persepsi, motif, dan tingkah laku, serta beragam melalui
penjelasan-penjelasan berupa kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks alam
tertentu cara alami.
Pendekatan penelitiannya menggunakan Studi kasus adalah desain studi yang ditemukan di banyak disiplin ilmu dengan mengunjungi
toko-toko online. Pada praktiknya hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh
terhadap eksistensi jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada menurut perspektif hukum Islam dan hukum
psoitif.
Sumber
data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer didapatkan dengan melakukan
wawancara kepada penjual buku bajakan melalui aplikasi online Lazada, dan
pembeli buku bajakan yang terlibat dalam praktik jual beli buku bajakan baik
pengguna aplikasi Lazada itu sendiri maupun mahasiswa sekitar IAIN Syekh
Nurjati Cirebon. Kemudian wawancara secara langsung kepada penulis dan
penerbit. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skripsi, jurnal, website yang berkaitan dengan praktik jual beli buku bajakan
di Marketplace Lazada.
Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Pertama, observasi (observation)
Merupakan teknik atau pendekatan untuk mengambil data primer dengan cara
mengamati secara langsung suatu objek data[5] Observasi yang dilakukan oleh
peneliti pada salah satu Marketplace yaitu Lazada, guna memperoleh data
dan informasi terkait dengan jual beli buku bajakan secara online. Kedua, wawancara adalah sarana untuk mengkonfirmasi
atau membuktikan informasi yang diterima sebelumnya. Metode
wawancara yang digunakan dalam survei kualitatif adalah wawancara rinci, dimana informasi untuk keperluan
survei diperoleh melalui tanya jawab tatap
muka antara pewawancara dengan informan atau responden, dengan atau tanpa
pedoman wawancara. Pewawancara dan informan memiliki kehidupan sosial yang
relatif panjang.[6] Wawancara yang dilakukan oleh penulis
adalah wawancara yang dilakukan secara virtual kepada penjual dan juga pembeli
buku bajakan di aplikasi Lazada. Serta wawancara secara langsung kepada
penerbit dan penulis selaku dari pemegang hak cipta.
Dan ketiga,
penelitian dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang
tidak langsung berkaitan dengan
topik penelitian, melainkan pada dokumen tertentu. Dokumen
terkait judul penelitian yang dikumpulkan peneliti mengenai
tinjauan hukum jual beli buku bajakan di Marketplace
Lazada dalam perspektif hukum
Islam dan hukum positif.
Penelitian ini menggunakan teknik
analisis komparatif yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan gejala dengan
melakukan perbandingan atas perbedaan.[7]
Dengan membandingkan hasil penelitian pada praktik jual beli buku bajakan di marketplace lazada menurut Fatwa MUI
Nomor 1/MUNAS VII/MUI/5/2005 tentang Hak Kekayaan Intelektual dengan
Undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
KONSEP
DASAR HAK CIPTA BUKU
Pengertian
Hak Cipta
Hak
cipta ialah hak ekslusif bagi pencipta ataupun penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hak ini yang nantinya akan melindungi ciptaan atau hasil karya dari
yang dilahirkan oleh pencipta tersebut.[8]
Apabila suatu ciptaan diperbanyak tanpa izin dari pencipta maka itu sudah dikategorikan
ke dalam pelangggaran undang-undang hak cipta.
Pasal 1 angka 1 UU No. 28 tahun 2014
yang berbunyi: “Hak Cipta
adalah hak eksklusif pencipta dan dengan sendirinya dihasilkan menurut asas deklaratif setelah ciptaan itu
diwujudkan dalam bentuk konkrit,
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh peraturan perundang-undangan.” Dalam
hal ini pencipta bebas berkarya dalam bentuk apapun selama itu tidak melanggar
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
Hak Cipta diberikan oleh Negara dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni dan sastra,
yang mempunyai peranan strategis dalam menunjang pembangunan Negara dan
memajukan kepentingan umum, sebagaimana diatur dalam UUD 1945.[9] Suatu ciptaan
yang memiliki nilai lebih tentunya akan membantu pemerintah dalam pengembangan
dibidang-bidang tertentu.
Meneliti dari berbagai macam pengertian
di atas, dapat disimpulkan bahwa hak cipta merupakan hak ekslusif suatu karya
berupa seni, ilmu dan juga sastra yang diserahkan negara kepada pencipta untuk
memperbanyak dan mendistribusikan karya-karyanya demi kepentingan umum atau
pribadi tanpa terlepas ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Suatu ciptaan
dimaksudkan yang memiliki nilai lebih dan juga bersifat nyata.
Bentuk-bentuk
Pelanggaran Hak Cipta
Undang-undang
Hak Cipta No. 24 Tahun 2018 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 112- 120 yaitu
sebagaimana berikut:[10]
1.
Tanpa
hak melakukan perbuatan penggunaan secara komersial dalam suatu ciptaan;
2.
Tanpa
hak melakukan pelanggaran hak ekonomi untuk penggunaan secara komersial atas
suatu ciptaan;
3.
Tanpa
hak atau dengan tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta dengan
melakukan pelanggaran hak ekonomi terhadap suatu ciptaan;
4.
Melakukan
suatu pembajakan atas ciptaan;
5.
Mengelola
tempat perdagangan dalam segala bentuknya dengan sengaja dan mengetahui atau
membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelangggaran Hak Cipta
dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya;
6.
Dengan
tanpa persetujuan orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan penggunaan
secara komersial , penggandaan, pengumuman, pendistribusian atau komunikasi
atas potret untuk kepentingan reklame atau periklanan dalam penggunaan secara
komersial baik dalam elektronik maupun non elektronik;
7.
Lembaga
Manajemen Kolektif yang tidak berizin operasional dari Menteri melakukan
kegiatan penarikan royalti.
Pelanggaran Hak cipta akan terus
berlanjut jika tanpa diimbangi dengan kesadaran masyarakat itu sendiri.
Sebagaimana yang kita tahu bahwasannnya pembajakan di Indonesia masih banyak
dilakukan bahkan dari berbagai macam kalangan dan akademisi. Sudah seharusnya
pemerintah dan juga pihak yang berwenang menangani hak cipta dan mengambil
tindakan agar pemegang hak cipta tidak kehilangan hak-haknya. Edukasi terhadap
masyarakat pun perlu ditingkatkan agar mereka tahu bahwasannya ada peraturan
perundang-undangan yang bisa mencegah dan memberikan sanksi pada siapa pun yang
melanggar ketentuan-ketentuan tersebut.
Pandangan Islam
Mengenai Hak Cipta
Sebab-sebab
ditetapkannya sebuah hak cipta yaitu adanya suatu pekerjaan dan kesungguhan
seorang pencipta dalam membuat sebuah karya cipta. Sebab dari perbuatan dan
kerja keras itulah yang menjadi ciri terhadap
adanya hak kepemilikan bagi seseorang. Hal yang sama terkait kepemilikan dengan
suatu usaha dalam Islam sendiri
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 32, Allah berfirman:
وَلَا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ
نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ
ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيْمًا
Artinya: “Janganlah kamu berangan-angan
(iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas
sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan
bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada
Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” [11]
Hadits yang mengungkapkan tentang
kepemilikan atas hasil dari pekerjaan yaitu dari Abu Hurairah r.a ia berkata:
aku mendengar Rasulullah S.A.W: bersabda “Berangkatlah kamu pagi-pagi, kemudian
pulang memikul kayu bakar di punggungnya, kemudian bersedekah dengannya dan ia
merasa cukup dengan itu sehingga tidak meminta-minta kepada orang banyak, itu lebih
baik bagimu dari pada meminta-minta baik ia dikasih atau tidak. Karena tangan
di atas lebih baik dari pada tangan di bawah” (H.R Muslim)
Konsep Jual Beli
Online di Marketplace dalam Perspektif Hukum Islam
Pengertian jual
beli online
Jual
beli online adalah suatu transaksi
yang dilakukan oleh penjual dan pembeli terhadap suatu barang produk atau jasa
yang diperdagangkan secara online.
Dalam hukum islam melakukan jual beli sama dengan bermuammalah yang pada dasarnya
adalah al-ibahah atau diperbolehkan. Selama tidak ada dalil yang
melarangnya, maka dasar melakukan jual beli online
sama halnya dengan jual beli offline
yakni hukumnya diperbolehkan dalam agama Islam. Meskipun dalam praktiknya tidak
semua jual beli online atau offline
hukumnya halal, namun ada juga yang haram.
Secara harfiah pengertian jual beli
diambil dari dari dua suku kata yaitu “jual” yang memiliki arti menjual dan
“beli” yang berarti kegiatan membeli. Sehingga bisa dikatakan transasksi jual
beli adalah kegiatan menukar barang dengan uang atau uang dengan barang. Adanya
suatu pertemuan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli di satu tempat
untuk melakukan transaksi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jual beli online dikategorikan dalam akad as-salam karena transaksi yang dilakukan dalam jual beli online adalah dengan membayar terlebih
dahulu baru barang diserahkan kepada pembelinya. Maka hal itu bisa disebut
dengan jual beli dengan pembayaran dimuka, sedangkan penyerahan barangnya di
kemudian hari.[12] Dalil yang memperbolehkan jual beli
dengan akad salam ini terdapat dalam
Q.S Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi:
وَاِنْ
كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗفَاِنْ
اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَهٗ وَلْيَتَّقِ
اللّٰهَ رَبَّهٗ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَۗ وَمَنْ يَّكْتُمْهَا فَاِنَّهٗٓ
اٰثِمٌ قَلْبُهٗ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ ࣖ
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan,
sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian,
karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya berdosa. Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[13]
Jual beli online merupakan jual beli yang dilakukan antara kedua belah pihak
antara penjual dan pembeli yang melangsungkan transaksi di awal dan penyerahan
barang di akhir. Sistem jual beli online
sama dengan jual beli offline pada
umumnya, hanya saja akad yang digunakan dalam bertransaksi berbeda. Hukumnya
boleh selama tidak ada dalil yang melarang dengan ketentuan unsur-unsur di
dalamnya tidak mengandung yang diharamkan, kecurangan dan tindakan
kerusakan-kerusakan lainnya yang dibenci oleh Allah SWT.
Akad Jual Beli
Buku Bajakan
Akad Salam
Jual
beli salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli dan penjual.
Spesifikasi dan harga barang pesanan
harus telah disepakati pada awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan di muka
secara penuh. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
mengungkapkan, salam adalah akad atas barang pesanan menggunakan spesifikasi
tertentu yang ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu, di mana
pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad. Ulama malikiyyah menyatakan,
salam merupakan akad jual beli pada mana kapital (pembayaran) dilakukan secara
tunai (di muka) dan objek pesanan
diserahkan kemudian dengan jangka waktu tertentu. Jual beli salam merupakan
akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang
terdapat dalam Alquran di antaranya: a. Surat Al-Baqarah: 282 yaitu:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوْهُۗ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya”[14]
Akad Wakalah
Wakalah berasal dari wazan wakala-yakiluwaklan yang berarti
menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil.
Al-Wakalah juga berarti penyerahan (al
Tafwidh) dan pemeliharaan (al-Hifdh).
Wakalah dari Antonio (2011) artinya salah
satu akad tabarru' yaitu akad
yang bersifat sosial. Wakalah ialah pelimpahan kekuasaan asal seseorang pada
orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Landasan syariah yang mendasari
aplikasi akad wakalah ada pada Al-Qur'an, Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Q.S.
Yusuf ayat 55:
قَالَ
اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ
Artinya:
“Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri (Mesir);
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi sangat
berpengetahuan.”[15]
Media Online
Media online ialah media massa yang dapat
ditemukan di internet, media online
menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik dalam sistem kerjanya. Pada perspektif
studi media atau komunikasi massa, media online
menjadi objek kajian teori media baru (neewe media), yaitu istilah yang mengacu
kepada permintaan akses ke konten (isi/berita) kapan saja di mana saja, waktu
perangkat digital dan umpan kembali
pengguna interaktif, partisipasi kreatif
dan pembentukan komunitas sekitar
konten media, juga aspek generasi reel
time. Jadi, pada hal ini jual beli secara online bisa jua dikatakan menjadi proses tukar menukar barang yang
terhubung koneksi, aktif serta beroperasi melalui jaringan dengan media sosial.[16]
Semakin
teknologi berkembang maka semakin canggih juga seseorang dalam memanfaatkan
teknologi tersebut. Seolah tak pernah kehabisan akal, manusia terus berpikir
untuk menciptakan sesuatu yang akan memudahkan mereka dalam pemenuhan berbagai
jenis kebutuhan dan juga keinginan. Salah satu kegiatan yang tak bisa
dilepaskan dari kehidupan sehari-hari manusia adalah bertransaksi jual beli,
bentuk jual beli kebutuhan primer maupun sekunder, benda hidup atau benda mati,
bergerak ataupun tidak bergerak.
Media
online bisa menjadi perantara
seseorang dalam melakukan transaksi jual beli tanpa bertatap muka secara
langsung, melainkan cukup dengan menggunakan sebuah media dalam bentuk handphone, laptop dan sejenisnya yang
terkoneksi langsung dengan internet atau aplikasi yang sudah dilengkapi
fitur-fitur yang disediakan. Fitur-fitur
tersebut akan memudahkan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi
pembayaran, pemilihan barang dagangan serta pengiriman barang hingga akhirnya
barang tersebut sampai ke tangan pembeli dengan aman dan dipastikan tidak
terjadi suatu kesalahan.
Marketplace
Marketplace merupakan
sebuah pasar virtual di mana pasar tersebut dijadikan sebagai tempat bertemunya
antara penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi. Fungsi dari Marketplace sendiri sama halnya dengan
pasar tradisional, perbedaannya jika Marketplace
sudah lebih terkomputerisasi dengan menggunakan bantuan sebuah jaringan dalam
mendukung sebuah pasar agar dapat melakukan secara efesien dalam menyediakan
update informasi bagi penjual dan pembeli yang berbeda-beda.[17]
Marketplace menurut Iwan
Setiawan dkk dalam jurnalnya yang berjudul Rancang Bangun Aplikasi Marketplace bagi usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah Berbasis Web (Sub Modul: Pembelian), mengatakan bahwa Marketplace adalah aplikasi atau sistus
web yang memberi fasilitas jual beli online
dari berbagai sumber. [18]
Artinya aplikasi tersebut menyediakan tempat dengan manfaatnya masing-masing
sebagai perantara melakukan transaksi.
Marketpace yang dicakupkan
dari dua sumber di atas mengandung pengertian bahwasannya Marketplace memiliki fungsi yang sama dengan pasar pada umunya
yaitu sebagai tempat bertemunya antara penjual dan pembeli dalam melakukan
transaksi. Perbedaannya terletak pada bentuk pasar yang mempertemukan kedua
belah pihak dan pelayanan transaksi dalam sebuah aplikasi atau website yang sudah tersistem dan
terkoneksi dengan internet, sehingga mempermudah penjual dan pembeli dalam
berkegiatan transaksi.
Pengertian Buku
Bajakan
Buku merupakan
sekumpulan atau tumpukan kertas yang dijilid menjadi satu bahan bacaan yang di
dalamnya termuat dari beberapa halaman. Buku menjadi sumber wawasan ilmu
pengetahuan, hiburan dan juga sumber informasi bagi semua orang khususnya
kalangan masyarakat umum seperti pelajar, tenaga pengajar, pengusaha, dan
profesi-profesi lainnya yang memanfaatkan buku sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing.
Pembajakan dalam
pasal 1 ayat (23) UUHC Tahun 2014 menjelaskan bahwa pembajakan adalah
penggandaan ciptaan dan/produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian
barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan
ekonomi.[19]
Dari dua pengertian tersebut bisa kita simpulkan bahwasannya yang dimaksud
dengan buku bajakan adalah sekumpulan kertas yang dijilid menjadi bahan bacaan
untuk dicetak, diperbanyak dan disebarluaskan tanpa seizin pencipta atau
pemegang hak cipta demi keuntungan komersial pribadi. Mereka yang melakukan
praktek pembajakan buku tidak akan melihat seberapa penting dan besarnya nilai
jual buku asli dari proses yang
seharusnya.
Tempat Penjualan
Buku Bajakan
Buku-buku
bajakan ini biasanya dijual dengan beberapa macam cara dan tempat disesuaikan
dengan target pemasaran pelaku penjual buku bajakan. Ada yang menjual dengan
menawarkannya secara langsung, menjual di sebuah toko yang bisa dikunjungi
secara tatap muka oleh konsumen, bahkan pada zaman modern ini penjual dan
pembeli buku bajakan bisa bertransaksi dari jarak jauh menggunakan sebuah
aplikasi atau website tertentu.
Seorang penjual
yang menawarkan buku bajakan secara langsung, baik secara pribadi atau lewat toko buku yang beredar di
pasaran biasanya sebagian besar dari mereka tidak memberitahu konsumen bahwa
buku-buku yang dijual merupakan buku-buku ilegal. Begitupun konsumen yang
membeli buku bajakan, mereka bisa saja mengetahui dan tidak mengetahui buku apa
saja yang termasuk ke dalam pembajakan. Semua itu tergantung dari pembeli yang
dapat menilai kualitas buku secara langsung.
Berbeda dengan
toko buku yang menjual buku bajakan secara langsung, toko buku online bisa diakses oleh para pembeli
yang ingin mencari dan mendapatkan buku dengan mudah dan cepat. Kelebihan dalam
jual beli online ini yaitu pembeli
bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan menggunakan fitur-fitur
transaksi yang sudah tersedia. Dimulai dari pemilihan barang, pembayaran dan
proses pengiriman barang. Namun kelemahannya adalah pembeli tidak bisa
memperhatikan secara langsung apakah barang atau buku yang dijual termasuk ke
dalam buku bajakan atau tidak.
Klasifikasi buku
bajakan
Halaman awal
buku selalu tercantum peraturan perundang-undangan yang mengatur pembajakan.
Tertulis dengan jelas hukumannya bisa kurungan penjara hingga 4 tahun dan denda
mulai dari 100 juta sampai 4 milyar rupiah. Tapi tetap saja ada oknum-oknum
yang tetap nekat mengutip, memproduksi, mempublikasi dan menerjemahkan tanpa
izin pemegang hak cipta.
Beberapa
klasifikasi dari buku bajakan yang bisa diketahui diantaranya warna rupa sampul
berbeda serta tidak ada finishing, kualitas
kertas serta tinta rendah, bagian perekat dan halaman yang tidak rapih, Harga
yang murah serta tidak lumrah[20]
Dilihat dari segi kualitas dan kuantitas buku bajakan dan buku asli tentunya
keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Meskipun buku asli
harganya lebih tinggi, namun dari sisi kenyamanan membaca dan perlindungan hak
ciptanya sudah tertera dengan jelas. Sehingga dengan membeli buku asli sama
saja dengan menghargai dan mengapresiasi para penulis dan penerbit. Berbeda
jika yang dibeli merupakan buku bajakan, bukannya memberi keuntungan tapi malah
memberikan kerugian bagi banyak pihak.
PEMBAHASAN DAN
DISKUSI
Praktik Jual
Beli Buku Bajakan di Marketplace Lazada
Praktik
jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada
tidak jauh berbeda dengan praktik jual beli pada umumnya, pembeli dan penjual
sama-sama men-download aplikasi
Lazada terlebih dahulu di Play Store atau
bisa masuk melalui akun Lazada resmi di Lazada.co.id setelah itu penjual dan
pembeli harus melengkapi persyaratan untuk menjadi seller dan pengguna akun Lazada. Proses pendaftaran bisa melalui
email atau nomor handphone yang masih
aktif setelah itu pengguna bisa melakukan transaksi jual beli sesuai yang
dibutuhkan. Dengan mencari produk di nama pencarian, setelah produk ditemukan
kemudian pilih dan buat pesanan. Untuk membuat pesanan, pembeli harus
melengkapi persyaratan seperti mengisi alamat lengkap pengiriman barang,
ekspedisi pengiriman dan proses pembayaran bisa dilakukan melaui transfer bank
atau COD (cash on delivery) setelah
semuanya selesai, pembeli bisa menunggu barang 3-7 hari. Untuk penjual bisa
memulai menjual produknya setelah memenuhi persyaratan sebagai seller, salah satunya dengan melengkapi
alamat toko, verifikasi identitas seller dengan
menggunakan KTP dan melengkapi perlengkapan produk yang dijual.
Salah satu syarat menjual produk di
aplikasi Lazada yaitu produk atau barang tidak termasuk ke dalam barang ilegal. Namun pada kenyataannya sebagian
besar buku-buku yang dijual oleh toko online
Lazada merupakan buku-buku bajakan. Sumber buku yang didapatkan oleh
penjual berasal dari agen dengan sistem penjualan sesuai dengan kesepakatan
harga. Artinya, pihak toko atau penjual tidak terpaku pada kualitas buku
(bajakan atau asli). Jika harga buku disepakati oleh kedua belah pihak yaitu
antara agen dan penjual buku, maka pihak toko akan membelinya.
Beberapa penjual
juga mengakui bahwa mereka ada yang mengetahui dan tidak mengetahui tentang
undang-undang hak cipta, di aplikasi Lazada sendiri terdapat ketentuan dilarang
menjual produk-produk ilegal termasuk salah satunya buku bajakan. Apabila
penjual tetap melakukan transaksi jual beli barang ilegal maka ada tindakan
berupa teguran dari pihak Lazada kepada penjual untuk memperbaiki produk. Atau
jika ada penerbit dan penulis yang komplain terkait buku yang dipasarkan
penjual termasuk buku bajakan, maka Penjual harus menghapusnya dari produk
toko.[21]
Kurangnya
pengetahuan terkait peundang-undangan hak cipta oleh penjual menjadikannya
kurang teliti dalam melakukan kesepakatan jual beli buku dengan agen. Dengan
begitu penjual tidak memperhatikan jenis dan kualitas buku yang dijual kembali
kepada konsumennya. Meskipun di samping itu penjual mengetahui adanya ketentuan
larangan menjual produk ilegal. Penjual buku juga kurang mengetahui spesifikasi
buku bajakan dan buku asli karena yang menjadi patokannya sebatas pada harga. Seharusnya
penjual mengetahui salah satu spesifikasi dari buku bajakan seperti harganya
yang murah dan dijual di bawah harga aslinya.
Pentingnya mengetahui
spesifikasi buku bajakan tidak sekedar ditujukkan kepada penjual, melainkan
kepada pembeli itu sendiri agar
terhindar dari praktik jual beli barang ilegal. Menurut hasil wawancara penulis dengan
Fadlih, seorang mahasiswa yang pernah membeli buku bajakan. Ia mengakui secara
tidak sengaja membeli buku tersebut karena ia kurang jeli dalam memilih buku
yang ia beli dari toko tersebut, sehingga ia baru menyadari bahwa buku itu
bajakan setelah bukunya datang. Secara tidak langsung Fadlih memang ingin
membeli buku yang asli, namun karena ia melihat ada harga buku yang lebih murah
jadi ia lebih memilih buku yang belum diketahui bajakan tersebut.[22]
Sama halnya dengan Anita, mahasiswa semester akhir jurusan Matematika
ini pernah membeli buku secara kolektif dengan teman-teman sekelasnya atas
permintaan dosen pengajar. Penulis melihat adanya kesamaan ketidaktelitian dalam
memilih dan membeli buku di Marketplace.[23]
Fadlih dan Anita mengetahui buku tersebut bajakan setelah bukunya sampai di
tangan. Alhasil mereka sangat kecewa karena ekspektasi mereka hanya ingin membeli buku asli dengan harga yang lebih
murah.
Pembajakan
buku menurut hukum positif
Pembajakan buku
bisa dilakukan oleh siapapun termasuk mahasiswa, dosen, dan profesi dibidang
lainnya. Namun ada juga yang melakukan
pembajakan karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Beberapa faktor
seseorang melakukan pembajakan buku adalah karena faktor ekonomi, keuntungan
pribadi, atau kebutuhan pendidikan yang
sangat tinggi dan langka sehingga sangat memungkinkan bagi siapapun untuk
melakukan pembajakan. Contohnya seperti seorang pelajar yang disarankan oleh
dosen atau gurunya melakukan fotocopy / menggandakan bahan ajar dari sebuah buku yang sulit
didapatkan. Namun tak terlepas dari semua itu, tetap saja kegiatan tersebut
termasuk melanggar undang-undang Hak Cipta.
Pengecualian hak
cipta yang termuat dalam pasal 44 ayat (1) huruf (a) Undang-undang hak cipta
yang seringkali dipergunakan sebagai alasan dalam pemenuhan pendidikan
diperbolehkan melakukan pembajakan selama sumbernya disebutkan. Dalam pasal 46
Undang-undang hak cipta juga menyebutkan bahwasannya penggandaan untuk
kepentingan pribadi hanya boleh dilakukan satu kali tanpa izin pemegang hak
cipta.
Masalah yang
terjadi pada saat ini adalah banyaknya tempat-tempat fotokopi dan juga penjual
buku-buku bajakan baik yang ditemui secara langsung atau melalui aplikasi online
yang melakukan penggandaan dengan jumlah yang banyak tanpa melihat
kerugian pihak lain. Mereka dengan sengaja menjual buku-buku bajakan bukan
sebagai kebutuhan yang mendesak saja melainkan untuk memperoleh keuntungan
secara pribadi. Hal tersebut yang pada dasarnya termasuk ke dalam pelanggaran
undang-undang hak cipta karena sudah jelas tidak termasuk ke dalam pengecualian
yang terdapat di atas. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ancaman yang
ditetapkan melalui Pasal 114 Undang-Undang Hak Cipta adalah denda mencapai Rp.
100.000.000 (Seratus juta rupiah) bagi pengelola atau tempat perdagangan yang
secara sengaja membiarkan adanya praktik pembajakan dimulai dari penjualan,
penggandaan barang hasil pelanggaran hak
cipta.
Pasal 84
Undang-undang hak cipta yang di dalamnya memberikan batasan dalam menyalin dan
menggandakan karya cipta atas buku dengan cara lisensi wajib (compulsory licensing). Kebebasan yang
berkaitan dengan penggunaan hak cipta tidak menidakan kewenangan negara sebagai
otoritas dalam mewajibkan pencipta untuk memberikan lisensi wajib pada pihak
lain dalam menerjemahkan atau melakukan penggandaan dengan honororium yang
sebanding.[24]
Undang-undang di
atas menetapkan adanya pembatasan dan pengecualian dalam melakukan penggandaan
terhadap suatu ciptaan buku / karya, hal tersebut bisa dikatakan sebagai salah
satu bentuk tindakan memudahkan pembaca yang diberikan oleh pemerintah dengan
tidak terlepas dari ketentuan sebagaimana mestinya. Namun bukan berarti juga
buku-buku diluar pendidikan seperti novel, komik, majalah atau lainnya bisa
dicetak, dijual dan disebarluaskan seenaknya. Tetap harus berdasarkan izin
pencipta atau pemegang hak cipta itu sendiri sehingga di dalamnya terjalin
suatu kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Mengikuti
wawancara dengan salah satu pemegang hak cipta, Bapak Tri Prasetyo mengakui
bahwa persaingan jual beli buku bajakan cukup serius disaat penerbit mulai
masuk ke dalam Marketplace. Beberapa
bentuk pelanggaran mulai terjadi dilihat dari kurangnya kesadaran masyarakat
khususnya dari pelanggaran hak cipta. Tindak pembajakan buku sudah pasti
merugikan beberapa pihak termasuk
pemegang hak cipta. Pemegang hak cipta memiliki wewenang dalam
mendistribusikan buku-bukunya. Jika ada pihak lain yang mengambil hak tersebut
tanpa seizin pemegang hak cipta maka itu termasuk ke dalam pelanggaran. Secara
hukum kasus pembajakan buku masuk ke dalam hukum perdata delik aduan, artinya
jika tidak ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan maka tidak ada tindakan
dari pihak kepolisian kepada para penjual buku-buku bajakan. Perlu proses yang
cukup panjang dan biaya yang tidak sedikit untuk membawa kasus ini ke
pengadilan, maka dari itu pihak penerbit bekerja sama dengan para penulis besar
yang buku-bukunya dibajak di Marketplace
dengan sampel buku-buku best seller.
Persoalan terkait kasus pembajakan buku menjadi cukup
kompleks ketika pemegang hak cipta melibatkan Marketplace sebagai pihak ketiga dalam penjualan buku-buku mereka.
Terutama untuk penjualan buku-buku best seller
yang bisa memberikan keuntungan cukup besar. Sedangkan jika dilihat hasil dari
wawancara, pada waktu itu hanya ada 9 toko buku online yang memiliki penerbit. Arrtinya penjualan buku-buku secara
legal memang cukup terbatas sehingga memungkinkan untuk penjual buku-buku
bajakan membuka lapak sendiri dan menjual buku-buku mereka tanpa ada izin yang
resmi.[25]
Kenyataannya
yang terjadi pada praktik jual beli buku bajakan di beberapa toko online Marketplace Lazada khususnya di toko buku online TB Moralin telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU
No. 28 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (17) tentang pendistribusian, Pasal (8) tentang
hak ekonomi. Serta ketentuan dalam undang-undang Pasal 9 ayat (1) huruf b, d dan e di mana toko
buku secara langsung mengadakan penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya,
melakukan perubahan dari segi bentuknya dan menjual ciptaan tanpa seizin
pemegang hak cipta. Pasal 9 ayat (3) menjelaskan bahwa setiap orang yang tanpa
izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan penggandaan/dan atay
Penggunaan secara komersial Ciptaan.
Seseorang atau
lembaga yang berwenang melakukan penggandaan, perubahan dan pendistribusian
adalah pemegang hak ciptanya yaitu dalam hal ini adalah penerbit dan penulis.
Dalam kasus jual beli buku bajakan, para distributor mengambil alih hak-hak
tersebut tanpa adanya izin dari pemegang hak cipta. Sehingga pemegang hak cipta
tidak memiliki royalti/keuntungan dari hasil ciptaannya. Buku merupakan salah
satu karya yang dilindungi seperti yang disebutkan pada pasal 40 ayat (1).
Pembajakan Buku
Menurut Hukum Islam
Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) dalam fatwa MUI adalah kekayaan yang timbul dari
hasil pikir olah otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna
untuk manusia dan diakui oleh Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Oleh karenanya, HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis
hasil dari suatu kreativitas intelektual
dari yang bersangkutan sehingga memberikan hak privat baginya untuk
mendaftarkan dan mendapatkan perlindungan atas karya intelektualnya.
Bentuk Penghargaan atas karya
kreativitas intelektualnya tersebut Negara memberikan Hak Ekslusif kepada
pendaftarannya dan/atau pemiliknya. sebagai Pemegang Hak mempunyai hak untuk
melarang orang lain yang tanpa persetujuan atau tanpa hak, memperdagangkan atau
memakai hak tersebut dalam segala bentuk dan cara. Tujuan pengakuan hak ini
oleh Negara adalah setiap orang terpacu untuk menghasilkan
kreativitas-kreativitasnya guna kepentingan masyarakat secara luas. HKI
meliputi hak cipta yaitu hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
HKI dalam hukum Islam dipandang sebagai
salah satu huquq maliyyah (hak
kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum (mashum)
sebagaimana mal (kekayaan), HKI
yang mendapat perlindungan hukum Islam ialah HKI yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam. HKI dapat dijadikan obyek akad (al-ma’qud alaih), baik akad muawadhah
(pertukaran, komersial) maupun akad tabbarru’at
(nonkomersial) serta dapat diwaqafkan atau diwariskan. Setiap bentuk
pelanggaran HKI, termasuk namun tidak terbatas menggunakan, mengungkapkan,
membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan,
menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu, membajak HKI milik
orang lain secara tanpa hak merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram.[26]
Buku bajakan yaitu buku yang dijiplak,
diperbanyak, disebarluaskan atau dipublikasikan tanpa adanya izin dari pemegang
hak cipta. Naskah atau karya yang sudah dibukukan kemudian diberi hak cipta
sudah pasti diakui Negera dan memiliki nilai ekonomis bagi penciptanya.
Sehingga dengan adanya pengakuan tersebut diharapkan tidak ada pihak lain yang
mengambil manfaat dari ciptaan, terkecuali bagi seseorang yang diberi izin
untuk melakukannya.
Praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada merupakan salah satu
tindakan yang melanggar hukum, salah satunya Fatwa MUI Nomor: 1/MUNAS
VII/5/2005 meliputi Hak Cipta karena pembajakan buku termasuk menggunakan,
mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan,
menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu, membajak
HKI milik orang lain secara tanpa hak dan itu termasuk kepada kezaliman dan
hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Asy-Syu’ara ayat 183:
وَلَا
تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ ۚ
Artinya:
“Janganlah
kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat
kerusakan di bumi”[27]
Al-Qur’an
meletakkan ilmu pengetahuan sebagai sebuah instrumen yang sangat tinggi
nilainya bagi manusia. Manusia dituntut untuk bert-ta’aqqul (menggunakan akal),
tafakkur (berpikir), tadzakkur (mengingat-ngingat), tadabbur (berkontemplasi),
tanadhdhur (berteori), serta tabashshur (observasi). Semua itu menunjuk pada
aktivitas intelektual. Orang dilarang menempuh suatu perbuatan tanpa dengan
dasar rasionalitas atau argumen yang jelas, karena semua aransemen penyerap
ilmu itu nanti akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana firman Allah dalam
Qur’an surat Al-Isra’ ayat 36
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
Artinya: “Janganlah engkau
mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”[28]
Ayat di atas
merupakan salah satu seruan Al-Qur’an yang memberikan dorongan kepada
penganutnya untuk memberikan respect yang
tinggi terhadap aktivitas intelektual. Karena sangat pentingnya imu itulah maka
mengajarkan ilmu, menyebarkan, menginformasikan dan saling menyampaikan
kebenaran ilmu menjadi sebuah keharusan dalam sistem sosial Islam. Kata-kata
ilmu misalnya disebut dalam Al-Qur’an surat Al-‘Asr ayat 3
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ
Artinya:
“kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati
untuk kebenaran dan kesabaran.”[29]
Islam
menganjurkan agar senantiasa diupayakan hal-hal yang bisa memfasilitasi
tersebarnya ilmu pengetahuan. Kalau hal ini dikaitkan dengan konteks
kenegaraan, maka pemerintah sebuah negara adalah mengupayakan pencerdasan
bangsa dengan mencukupi segala yang diperlukan untuk itu. Ilmu bukanlah sesuatu
yang ellits sifatnya, bukan hanya untuk orang-orang yang kaya yang mampu
membayar tinggi sebuah hak cipta. Karena kalau ilmu hanya bisa beredar di
kalangan elit (ekonomi) maka orang-orang niskin akan sulit mendapatkan ilmu
pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan atau penemuan dalam konsep hak milik merupakan sebuah kekayaan
immateril, hak milik intelektual adalah hak yang bukan kebendaan
(materill). Sedangkan di
dalam Islam (mu'amalah) dikenal adanya berbagai macam hak dari seseorang.
Mu'amalah bisa diakomodasi adanya hak kebendaan dan hak non kebendaan, atau hak
materiil dan hak immateriil. Kemudian, hak milik intelektual mirip dengan
hak-hak non kebendaan yang lain seperti hak tagih, hak sewa, hak guna bangunan,
dan yang sejenisnya. Islam mengakui adanya konsep kepemllikan yang seperti itu,
karena seseorang mendapatkan itu atas upayanya sendiri, dia mencari sesuatu (re search) dan akhirnya mendapatkan
sesuatu yang tidak didapatkan oleh crang lain. Sehingga, sebuah penemuan, bisa
saja dijual oleh pemiliknya dengan imbalan nilai ekonomi tertentu.
Islam melarang adanya proteksi hak milik
intelektual yang mengakibatkan orang lain tidak bisa mengetahui sebuah hasil
penemuan atau inovasi tertentu misalnya, namun juga tidak bisa dikatakan bahwa
kepemilikan terhadap hak intelektual yang bersifat immateriil itu tidak
memiliki tempat dalam hukum Islam. Karena, intellectual
property rights, sebagai sebuah bentuk dari kepemilikan harta benda, dia
adalah syah. Untuk itulah, dalam permasalahan ini harus ada penyelesaian yang
mengakomodasikan keduanya.
Anjuran untuk saling mengajarkan ilmu
pengetahuan, yang karenanya mencari ilmu itu wajib, maka kewajiban itu telah
menjadikan bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu tidak beda dengan hak asasi, yakni
bahwa adaiah hak asasi bagi setiap orang untuk bisa mengetahui sesuatu
perkembangan ilmu pengetahuan. Semua bentuk penghalangan terhadap hal ini harus
diupayakan bentuk penyelesaiannya. Dalam saat yang sama, tidaklah seimbang apabila
sebuah karya seseorang, yang diraih dengan upaya dalam bentuk biaya, waktu dan
tenaga, itu kemudian tidak dihargai dengan bentuk materi, sehingga di satu
sisi, ini akan mematikan daya kreasi umat manusia, orang sangat bisa jadi, akan
berpikir ulang untuk menekuni sebuah penelitian dan inovasi.
Keberadaan sebuah negara dalam hal ini
sangat diperlukan, pemerintahan negara harus memainkan peranan untuk
menjembatani dua kepentingan tersebut tanpa harus mengalahkan salah satunya.
Apabila sebuah negara membiarkan hal ini berlangsung dengan mekanisme pasar,
orang akan sulit menjamin tidak timbulnya ilmu pengetahuan (intelektual property rights). Negara
harus memberikan imbalan ekonomi dalam penemuan-penemuan yang menyangkut
kepentingan orang banyak, yang karenanya orang akan bisa bebas menggunakannya.
Sehingga, pemerintah bertanggung jawab untuk menghilangkan semua hambatan-hambatan
ekonomis yang menghalangi 'hak untuk mengetahui sebuah perkembangan ilmu' bagi
setiap warga negara. Karena sama sekali tidak masuk akal, apabila di satu sisi
seorang muslim diwajibkan nienuntut ilmu sampai kapan dan di mana saja, namun
dalam satu waktu pemerintahan (muslim) dengan sengaja menciptakan hambatan
untuk tertunajkannya kewajiban itu.[30]
Banyak buku-buku ilmu pengetahuan yang
dijual dengan harga tinggi, baik dikalangan para guru, mahasiswa dan
profesi-profesi lainnya. Fenomena seperti ini tentunya bisa menyulitkan para
pembaca untuk membeli buku-buku yang asli dengan harga yang mahal. Sehingga
salah satu jalan pintas untuk bisa memiliki buku tersebut adalah dengan membeli
buku bajakan. Meskipun di sisi lain ada pihak yang merasa dirugikan karena
ciptaannya dipergunakan melalui cara yang ilegal. Di sini akan terjadi sebuah
kedilemaan antara ketidakmampuan dalam membeli ilmu pengetahuan dan juga
memaksa membelinya namun akan ada pihak yang dirugikan. Sebagaimana Islam,
Islam menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan dan
menyebarluaskannya namun Islam juga melarang perbuatan yang akan merugikan hak
orang lain.
Salah satu jalan keluar yang bisa
diambil dari kedua persoalan tersebut yaitu Negara harus bisa menjembatani
antara keduanya dengan pengambilalihan hak cipta. Pemerintah harus bisa mengapresiasi hak-hak
pencipta dengan penghargaan berupa nilai manfaat ekonomi sehingga
karya-karyanya bisa dinikmati oleh semua kalangan tanpa adanya batasan-batasan
tertentu. Dengan begitu, semua masyarakat Indonesia yang ekonominya rendah pun
tetap bisa mencari dan menggunakan ilmu pengetahuan dengan leluasa dan tanpa
adanya pelanggaran terhadap hak cipta.
Upaya Pemegang
Hak Cipta dalam Meminimalisir Tindak Pembajakan Buku
Kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap pelanggaran yang terjadi pada praktik jual beli
buku bajakan dan peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang Hak
Cipta, membuat beberapa pihak khususnya pemegang hak cipta bergerak mencari
solusi dan jalan tengah terkait penjualan buku bajakan khususnya di Marketplace. Penulis pun mewawancarai
salah satu Pemegang Hak Cipta yaitu Bapak Tri Prasetyo yang pernah menangani
kasus jual beli buku bajakan di Marketplace.
Menurut hasil wawancara di atas, ada beberapa cara dan upaya yang bisa
dilakukan untuk meminimalisir terjadinya tindak pembajakan buku khususnya di Marketplace. Upaya tersebut akan
membantu semua pihak yang terlibat dalam proses jual beli buku terhindar
melakukan transaksi secara ilegal. Baik penulis, penerbit, penjual, pembeli dan
profesi-profesi lain yang ikut serta dalam penerbitan buku semuanya memiliki
keuntungan dan apresiasi dari hasil kerja kerasnya masing-masing. Beberapa
upaya yang disebutkan diantaranya.[31] Pertama, edukasi merupakan hal yang
mudah dan sederhana untuk dilakukan semua kalangan khususnya penulis dan
penerbit ataupun dari kalangan pelajar dan mahasiswa, kebanyakan beberapa
pembeli buku bajakan tidak terlalu mengetahui spesifikasi buku bajakan dengan
baik yang akhirnya membuat ia tetap membeli buku yang lebih murah. Dengan
adanya edukasi terkait spesifikasi buku bajakan kepada masyarakat umum termasuk
pembeli dan penjual setidaknya akan mengurangi niat mereka dalam melakukan jual
beli secara ilegal.
Kedua, ketika pembaca menyadari bahwa buku yang
ia beli merupakan buku bajakan, sebaiknya pembaca melaporkan kepada pemegang
hak cipta baik kepada penulis ataupun penerbit bahwa telah terjadinya
pembajakan buku, sehingga penerbit atau penulis bisa menegur langsung penjual
buku-buku bajakan tersebut untuk menghapusnya dari toko sebelum akhirnya ada
tindak lanjut dari pihak yang berwajib (kepolisian).
Ketiga, pemegang hak cipta membuat Marketplace sendiri, artinya penulis
atau penerbit tidak melibatkan distributor dalam menjual buku-bukunya. Hal ini
akan meminimalisir tindak pembajakan buku sekaligus memotong biaya produksi
sehingga buku-buku yang dijual menjadi lebih murah, dan pembaca akan tertarik
untuk memilih membeli buku asli dari pada membeli buku bajakan yang sudah jelas
kualitasnya lebih rendah.
Keempat, marketplace harus memiliki
izin dari penerbit atau pemegang hak cipta ketika akan menjual buku-buku yang
dipasarkan, sehingga pihak Marketplace
lebih leluasa karena jual beli dilakukan
secara legal dan tentunya tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan.
Kelima, penjual buku bajakan dijadikan sebagai
mitra oleh penerbit dengan catatan penjual harus menjual buku-buku yang asli.
Dengan menjadikannya sebagai mitra, maka kedua-duanya mendapatkan keuntungan,
penerbit jadi memiliki distributor yang akan menjualkan buku-bukunya dan
penjual buku akan mendapat bagian karena telah menjual buku-buku tersebut.
sehingga pemegang hak cipta tidak perlu mengeluarkan biaya untuk melaporkan
pihak penjual buku bajakan kepada kepolisian daerah untuk ditindaklanjuti.
Upaya dalam
meminimalisir adanya tindak pembajakan buku tersebut sebenarnya sudah cukup
menjadi jalan tengah agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Semua pihak
yang terlibat dalam praktik jual beli buku bajakan bisa bekerja sama dengan
baik jika mereka mau terbuka dan jujur. Begitupun tujuan penulis membuat
penelitian ini salah satunya untuk memberikan gambaran dan pengetahuan terkait
pentingnya memahami undang-undang hak cipta.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di
atas, dapat disimpulkan 3 (tiga) macam, yaitu pertama, praktik
jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada
tidak jauh berbeda dengan praktik jual beli pada umumnya, pembeli dan penjual
sama-sama men-download aplikasi
Lazada terlebih dahulu di Play Store atau
bisa masuk melalui akun Lazada resmi di Lazada.co.id setelah itu penjual dan
pembeli harus melengkapi persyaratan untuk menjadi seller dan pengguna akun Lazada.
Kedua,
Praktik
jual beli buku bajakan di Marketplace
Lazada merupakan salah satu tindakan yang melanggar hukum, salah satunya Fatwa
MUI Nomor: 1/MUNAS VII/5/2005 meliputi Hak Cipta karena pembajakan buku
termasuk menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor,
mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak,
menjiplak, memalsu, membajak HKI milik orang lain secara tanpa hak dan itu
termasuk kepada kezaliman dan hukumnya haram. Sedangkan praktik jual beli buku
bajakan di Marketplace Lazada
khususnya di toko buku online TB
Moralin telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (17) tentang
pendistribusian, Pasal (8) tentang hak ekonomi. Serta ketentuan dalam
undang-undang Pasal 9 ayat (1) huruf b,
d dan e di mana toko buku secara langsung mengadakan penggandaan ciptaan dalam
segala bentuknya, melakukan perubahan dari segi bentuknya dan menjual ciptaan
tanpa seizin pemegang hak cipta.
Dan ketiga,
upaya pemegang hak cipta dalam meminimalisir tindak pembajakan buku yaitu
dengan cara pertama, edukasi kepada masyarakat umum terkait spesifikasi buku
bajakan dan bentuk pelanggaran hak cipta. Kedua, melaporkan pihak-pihak penjual
buku bajakan kepada penerbit dengan tujuan pemegang hak cipta akan
melaporkannya kepada kepolisian daerah. Ketiga, pemegang hak cipta membuat Marketplace sendiri. Keempat, penjual
buku harus memiliki surat izin menjual buku-buku dari penerbit. Dan kelima,
menjadikan penjual buku bajakan sebagai mitra untuk diajak bekerja sama dalam
menjual buku asli.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti,
Daharmi. “Persepsi Masyarakat Terhadap Akad Jual Beli Online Perspektif Ekonomi Syariah,” dalam Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, Vol.
1, No. 1 (Juni, 2018).
Atsar,
Abdul. Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta:
Penerbit Deepublish, 2018.
Dame
Hutauruk, Betti. Et al. “Analisis dan Perancangan Aplikasi Marketplace Cinderamata Khas Batak Berbasis Android,” dalam Jurnal Methoodika, Vol. 3, No. 1 (Maret,
2017).
Echdar,
Saban. Metode Penelitian Manajemen dan
Bisnis. Makassar: Ghalia Indonesia, 2017.
Eduardus
Christiano, Bryan. “Implikasi Perubahan Delik Dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Terhadap
Detterence Effect Praktik Pembajakan Buku Akademis di Indonesia,” dalam Padjajaran Law Review, Vol. 9, No. 1 (2021).
Handayani
Amaliah, Tri. “Peningkatan Kompetensi Mahasiswa Melalui Pelatihan Penulisan
Karya Ilmiah dengan Menggunakan Metode Kualitatif dalam Masa Pandemi Covid 19”, dalam Jurnal Ilmiah Pengabdhi, Vol. 7, No. 2
(Oktober, 2021).
https://www.gramedia.com/blog/kenali-ciri-buku-bajakan-pahami-kerugiannya/
Jannah,
Maya. “Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam Hak Cipta
Indonesia,” dalam Jurnal Ilmiah
(Advokasi), Vol. 6, No. 2
(September, 2018).
Lazuardi
Alkhaf, Alvin. Relevansi Perlindungan
Hukum antara Penulis dan Penerbit Selaku Pemegang Hak Cipta Atas Pembajakan
Buku Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah, 2020.
Pandoy,
Axcel . “Tindak Pidana Hak Cipta Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta,” dalam Lex Crimen, vol.
8,
No. 1 (Januari, 2018).
Setiawan,
Iwan. Et al. “Rancang Bangun Aplikasi Marketplace
bagi usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbasis Web (Sub Modul: Pembelian),”
dalam Jurnal Teknik Informatika, Vol. 10, No. 3 (Agustus, 2018).
Triyanta,
Agus. “Hak Milik Intelektual dalam Pandangan Islam,” dalam Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 8 (Juni, 2001).
Wati,
Anida. Analisis Peranan Objek Wisata
Talang Indah Terhadap Peningkatan Pendaftaran Masyarakat Menurut Perspektif
Ekonomi Islam. Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan, 2018.
Wisyahban,
Risman. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah
Terhadap Jual Beli Buku Bajakan di Toko Buku Kairo Kota Bandung. Bandung:
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2018.
Yuki
Prasetyawati, Farah. Et al. “Studi Komparatif Perbedaan Optimisme Pembelajaran
Daring pafa Mahsiswa Berdasarkan Jenis Kelamin,” dalam Jurnal Pendidikan Dompet Duafa, Vol. 11, No. 1 (Mei, 2021).
[1]
Alvin Lazuardi Alkhaf, “Relevansi
Perlindungan Hukum antara Penulis dan Penerbit Selaku Pemegang Hak Cipta Atas
Pembajakan Buku Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,” Skripsi Tidak diterbitkan (Surakarta:
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 2020).
[2]
Risman Wisyahban, “Tinjauan
Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Jual Beli Buku Bajakan di Toko Buku Kairo Kota
Bandung” Skripsi Tidak diterbitkan
(Bandung: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati, 2018).
[3] Anida Wati, “Analisis Peranan
Objek Wisata Talang Indah Terhadap Peningkatan Pendaftaran Masyarakat Menurut
Perspektif Ekonomi Islam” Skripsi Tidak
Diterbitkan (Lampung: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam
Negeri Raden Intan, 2018), 14.
[4]
Tri Handayani Amaliah,
“Peningkatan Kompetensi Mahasiswa Melalui Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah
dengan Menggunakan Metode Kualitatif
dalam Masa Pandemi Covid 19”, dalam Jurnal
Ilmiah Pengabdhi, Vol. 7, No. 2 (Oktober, 2021): 90.
[5] Saban Echdar, Metode Penelitian Manajemen dan Bisnis (Makassar:
Ghalia Indonesia, 2017), 288.
[6]
Saban Echdar, Metode Penelitian Manajemen dan Bisnis, 293.
[7]
Farah Yuki Prasetyawati,
Rizal Galih Pradana dan Ahmad Mukhibun, “Studi Komparatif Perbedaan Optimisme
Pembelajaran Daring pafa Mahsiswa Berdasarkan Jenis Kelamin,” dalam Jurnal Pendidikan Dompet Duafa, Vol. 11, No. 1 (Mei, 2021): 4.
[8]
Abdul Atsar, Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Yogyakarta:
Penerbit Deepublish, 2018), 31.
[9] Maya Jannah, “Perlindungan Hukum
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam Hak Cipta Indonesia,” dalam Jurnal Ilmiah (Advokasi), Vol. 6, No. 2 (September, 2018): 57.
[10] Axcel Pandoy, “Tindak Pidana Hak
Cipta Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,” dalam Lex Crimen, vol. 8, No. 1 (Januari, 2018):
170.
[11]
Q.S. An-Nisa (4): 32.
[12]
Hafidz
Muftisany, Hukum Jual Beli Online (CV Intera, 2021), 7-9.
[13]
Q.S. Al-Baqarah (2): 283.
[14]
Q.S. Al-Baqarah (2): 282.
[15]
Q.S. Yusuf (12): 55.
[16]
Daharmi Astuti, “Persepsi
Masyarakat Terhadap Akad Jual Beli Online
Perspektif Ekonomi Syariah,” dalam Jurnal
Rumpun Ekonomi Syariah, Vol. 1, No.
1 (Juni, 2018): 20.
[17] Betti Dame Hutauruk, dkk, eds,.
“Analisis dan Perancangan Aplikasi Marketplace
Cinderamata Khas Batak Berbasis Android,” dalam Jurnal Methoodika, Vol. 3, No. 1 (Maret, 2017): 243.
[18]
Iwan Setiawan, dkk, eds,. “Rancang
Bangun Aplikasi Marketplace bagi
usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbasis Web (Sub Modul: Pembelian),” dalam Jurnal Teknik Informatika, Vol. 10, No. 3 (Agustus, 2018): 38.
[19]
Undang-undang Nomor 28
Tahun 2014
[20] https://www.gramedia.com/blog/kenali-ciri-buku-bajakan-pahami-kerugiannya/ diakses pada Tanggal 2 Maret
2022 Pukul 11.12.
[21]
Wawancara via WhatsApp
dengan Distributor Toko Buku Bajakan TB Moralin, Tanggal 9 Februari 2022 Pukul
13.39 WIB.
[22]
Wawancara dengan Fadlih
selaku mahasiswa yang membeli buku bajakan, Tanggal 07 Februari 2022 pukul
14.43 WIB.
[23]
Wawancara dengan Anita
selaku mahasiswa yang membeli buku bajakan, Tanggal 20 Mei 2022 pukul 10.45 WIB.
[24]
Bryan Eduardus Christiano,
“Implikasi Perubahan Delik Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Terhadap Detterence Effect
Praktik Pembajakan Buku Akademis di Indonesia,” dalam Padjajaran Law Review, Vol. 9,
No. 1 (2021).
[25]
Wawancara dengan Bapak Tri
Prasetyo selaku Pemimpin Redaksi Gradien Mediatama, Tanggal 03 Februari 2022
Pukul 10.15 WIB.
[26] Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 1/MUNAS VII/MUI/5/2005 Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
(HKI).
[27]
Q.S. Asy-Syu’ara (26): 183.
[28]
Q.S. Al-Isra (17): 36.
[29]
Q.S. Al-Asr (103): 3.
[30]
Agus Triyanta, “Hak Milik
Intelektual dalam Pandangan Islam,” dalam Jurnal
Hukum, Vol. 17, No. 8 (Juni, 2001): 36-39.
[31]
Wawancara dengan Bapak Tri
Prasetyo selaku Pemimpin Redaksi Gradien Mediatama, Tanggal 03 Februari 2022
Pukul 10.15 WIB.
Komentar
Posting Komentar