PRAKTIK JUAL BELI BUKU BAJAKAN DI MARKETPLACE LAZADA MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

 

PRAKTIK JUAL BELI BUKU BAJAKAN DI MARKETPLACE LAZADA MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Elisa Juliani

(Pembimbing I: Leliya, M.H & Pembimbing II: Ahmad Khoerudin, M.H)

Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon

email: elisajuli99@gmail.com

 

Abstract

The practice of selling pirated books in lazlazada is still often found in the community especially in education, under the pretext of a cheap and readily available book buyer who buys it without seeing the cost of many parties. In view of the problem, the author feels the need to look deeper into it based on islamic law review and positive law. The methods used in this study are qualitative by leveraging a case study approach. The data-collection technique of observation, interview and documentation. From his research on the practice of selling pirated books in lazlazthere was not much different from the general practice of purchasing, buyers and sellers could download the lazada application. Second, the practice of selling pirated books in lazlazada is one of the ACTS that violates the law of fatwa mui number: 1/ munas vii /5/2005 and 2014 no. 28. Third, the copyright holder's efforts to minimize piracy of books by education.

 

Keywords: bootleg, lazada, islamic law and positive law

 

Abstrak

Praktik jual beli buku bajakan di marketplace Lazada masih sering ditemui di kalangan masyarakat khususnya di lingkup pendidikan, dengan dalih harga buku yang murah dan mudah didapat para pembeli buku bajakan tetap membelinya tanpa melihat ada banyak pihak yang dirugikan. Melihat permasalahan tersebut, penulis merasa perlu mengkaji lebih dalam lagi berdasarkan tinjauan hukum Islam dan hukum positif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan memanfaatkan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Dari hasil penelitiannya praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada tidak jauh berbeda dengan praktik jual beli pada umumnya, pembeli dan penjual bisa men-download aplikasi Lazada. Kedua, Praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada merupakan salah satu tindakan yang melanggar hukum Fatwa MUI Nomor: 1/MUNAS VII/5/2005 dan UU No. 28 Tahun 2014. Ketiga, upaya pemegang hak cipta dalam meminimalisir tindak pembajakan buku yaitu dengan edukasi.

 

Kata kunci: jual beli buku bajakan, Marketplace Lazada, Hukum Islam dan Hukum Positif

 

PENDAHULUAN

Hukum diciptakan agar setiap manusia baik individu atau kelompok yang tinggal di suatu negara dapat mewujudkan ketertiban demi tercapainya kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Segala kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga diatur segala ketentuannya baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Seperti halnya jual beli, transaksi yang dilakukan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli memiliki tata tertib atau kaidahnya masing-masing dari segi hukum Islam dan hukum positif.

Praktik jual beli buku bajakan merupakan salah satu kegiatan transaksi yang masih sering terjadi sampai saat ini. Bahkan penjualan ini tidak hanya terjadi pada toko-toko buku yang beredar di pasaran, atau tempat-tempat yang bisa dikunjungi secara langsung. Melainkan juga terjadi dan ditemukan di Marketplace, sebuah situs media online yang menjadi pihak ketiga dalam transaksi jual beli online. Transaksi ini cukup memudahkan penjual dan pembeli, karena kedua belah pihak tidak perlu bertemu secara langsung. Salah satu Marketplace yang aktif menjual dan mendistribusikan buku-buku bajakan yaitu Marketplace Lazada. Salah satu pasar online terbesar di Indonesia yang menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan pendidikan.

Pembajakan buku ini berakibat pada etos dan semangat penulis menjadi berkurang karena tidak mendapatkan keuntungan ekonomi. Jika hal demikian terus berlanjut, maka akan dipastikan tingkat minat seorang penulis atau pencipta dalam membangun suatu karya dan literasi akan menurun. Karena ilmu pengetahuan atau hasil ciptaannya disebarluaskan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki keterlibatan dalam pembentukan hak cipta itu sendiri. untuk itu penulis merasa perlu mengkaji lebih dalam mengenai 1) Bagaimana praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada? 2) Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum positif di Marketplace Lazada? 3) Bagaimana upaya pemegang hak cipta dalam meminimalisir tindak pembajakan buku di Marketplace Lazada?

 

LITERATUR RIVIEW

Praktik jual beli buku bajakan di Marketplace khususnya yang terjadi di Indonesia sudah menjadi hal yang umum dan lumrah terjadi di masyarakat tanpa memandang profesi bahkan ekonomi. IKAPI sendiri menyebut jual beli buku bajakan yang terjadi hingga saat ini sudah termasuk dalam bagian industri yang sulit dipisahkan karena rendahnya pengetahuan masyarakat dan kurangnya kebijakan terkait perundang-undangan hak cipta. Berikut beberapa karya yang terdokumentasikan terkait permasalahan yang dikaji, yaitu pertama, penelitian yang dikaji Alvin Lazuardi Alkhaf [1] Penelitian ini memfokuskan kepada Relefansi perlindungan hukum anatara penulis dan penerbit selaku pemegang hak cipta atas pembajakan buku berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta. Menurutnya, membeli buku bajakan adalah salah satu alternatif untuk mendapatkan pengetahuan meskipun buku yang dibaca memiliki kualitas yang lebih rendah dan pada dasarnya tidak diperbolehkan. Selain sebagai alternatif untuk tetap mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagian masyarakat menjadikan jual buku bajakan sebagai jalan dalam menyambung hidup. Penegak hukum yang menangani kasus pembajakan buku tersebut juga kurang berperan aktif terutama dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat setempat, sehingga secara tidak langsung ikut membiarkan adanya praktik jual beli bajakan. Seharusnya dalam hal ini penegak hukum bisa bertindak tegas karena adanya pelanggaran terhadap undang-undang hak cipta

Dan kedua, penelitian yang dilakukan oleh Risman Wisyahban tentang “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Jual Beli Buku Bajakan di Toko Buku Kairo Kota Bandung”.[2] Dalam penelitian ini muncul permasalahan pokok yaitu banyaknya permintaan konsumen terkhusus untuk buku-buku yang sudah jarang atau barang sudah tidak dijual lagi di pasaran. Sistem dari pada jual buku bajakan ini yaitu pemilik toko buku hanya menerima buku hasil distribusi kemudian menjualnya kepada masyarakat dan juga mahasiswa dengan harga yang lebih murah.

Dari kedua topik penilitian yang dipaparkan di atas, ternyata belum ada tinjauan secara khusus dan komprehensif tentang jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada  yang secara spesifik dikaji dari sisi hukum Islam dan juga hukum positif. Dengan menggunakan teknik analisis komparatif, selain nantinya akan ada perbandingan dari sudut pandang hukum Islam dan juga hukum positif, diharapkan penelitian ini juga akan mengungkapkan nuansa pemikiran pembaharuan dari kedua sisi hukum. Di sinilah letak perbedaan studi ini dengan studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya.

 

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (Field Research) yaitu melakukan kegiatan lapangan atau guna memperoleh berbagai data dari indormasi yang dilakukan.[3] Proses penelitian mengangkat data dari permasalahan yang ada di lapangan (lokasi penelitian) yang berkenaan dengan praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. yaitu suatu metode penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.[4] Dengan kata lain penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena-fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara keseluruhan, seperti perilaku, persepsi, motif, dan tingkah laku, serta beragam melalui penjelasan-penjelasan berupa kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks alam tertentu cara alami.

Pendekatan penelitiannya menggunakan Studi kasus adalah desain studi yang ditemukan di banyak disiplin ilmu dengan mengunjungi toko-toko online. Pada praktiknya hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh terhadap eksistensi jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada menurut perspektif hukum Islam dan hukum psoitif.

Sumber data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder.

Data primer didapatkan dengan melakukan wawancara kepada penjual buku bajakan melalui aplikasi online Lazada, dan pembeli buku bajakan yang terlibat dalam praktik jual beli buku bajakan baik pengguna aplikasi Lazada itu sendiri maupun mahasiswa sekitar IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kemudian wawancara secara langsung kepada penulis dan penerbit. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah skripsi, jurnal, website yang berkaitan dengan praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Pertama, observasi (observation) Merupakan teknik atau pendekatan untuk mengambil data primer dengan cara mengamati secara langsung suatu objek data[5] Observasi yang dilakukan oleh peneliti pada salah satu Marketplace yaitu Lazada, guna memperoleh data dan informasi terkait dengan jual beli buku bajakan secara online. Kedua, wawancara adalah sarana untuk mengkonfirmasi atau membuktikan informasi yang diterima sebelumnya. Metode wawancara yang digunakan dalam survei kualitatif adalah wawancara rinci, dimana informasi untuk keperluan survei diperoleh melalui tanya jawab tatap muka antara pewawancara dengan informan atau responden, dengan atau tanpa pedoman wawancara. Pewawancara dan informan memiliki kehidupan sosial yang relatif panjang.[6] Wawancara yang dilakukan oleh penulis adalah wawancara yang dilakukan secara virtual kepada penjual dan juga pembeli buku bajakan di aplikasi Lazada. Serta wawancara secara langsung kepada penerbit dan penulis selaku dari pemegang hak cipta.

Dan ketiga, penelitian dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung berkaitan dengan topik penelitian, melainkan pada dokumen tertentu. Dokumen terkait judul penelitian yang dikumpulkan peneliti mengenai tinjauan hukum jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada dalam perspektif  hukum Islam dan hukum positif.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis komparatif yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan gejala dengan melakukan perbandingan atas perbedaan.[7] Dengan membandingkan hasil penelitian pada praktik jual beli buku bajakan di marketplace lazada menurut Fatwa MUI Nomor 1/MUNAS VII/MUI/5/2005 tentang Hak Kekayaan Intelektual dengan Undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.

 

KONSEP DASAR HAK CIPTA BUKU

Pengertian Hak Cipta

Hak cipta ialah hak ekslusif bagi pencipta ataupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak ini yang nantinya akan melindungi ciptaan atau hasil karya dari yang dilahirkan oleh pencipta tersebut.[8] Apabila suatu ciptaan diperbanyak tanpa izin dari pencipta maka itu sudah dikategorikan ke dalam pelangggaran undang-undang hak cipta.

Pasal 1 angka 1 UU No. 28 tahun 2014 yang berbunyi: “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta dan dengan sendirinya dihasilkan menurut asas deklaratif setelah ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk konkrit, dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh peraturan perundang-undangan.”  Dalam hal ini pencipta bebas berkarya dalam bentuk apapun selama itu tidak melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.

Hak Cipta diberikan oleh Negara dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mempunyai peranan strategis dalam menunjang pembangunan Negara dan memajukan kepentingan umum, sebagaimana diatur dalam UUD 1945.[9] Suatu ciptaan yang memiliki nilai lebih tentunya akan membantu pemerintah dalam pengembangan dibidang-bidang tertentu.

Meneliti dari berbagai macam pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hak cipta merupakan hak ekslusif suatu karya berupa seni, ilmu dan juga sastra yang diserahkan negara kepada pencipta untuk memperbanyak dan mendistribusikan karya-karyanya demi kepentingan umum atau pribadi tanpa terlepas ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Suatu ciptaan dimaksudkan yang memiliki nilai lebih dan juga bersifat nyata.

Bentuk-bentuk Pelanggaran Hak Cipta

Undang-undang Hak Cipta No. 24 Tahun 2018 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 112- 120 yaitu sebagaimana berikut:[10]

1.      Tanpa hak melakukan perbuatan penggunaan secara komersial dalam suatu ciptaan;

2.      Tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi untuk penggunaan secara komersial atas suatu ciptaan;

3.      Tanpa hak atau dengan tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta dengan melakukan pelanggaran hak ekonomi terhadap suatu ciptaan;

4.      Melakukan suatu pembajakan atas ciptaan;

5.      Mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya dengan sengaja dan mengetahui atau membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelangggaran Hak Cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya;

6.      Dengan tanpa persetujuan orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan penggunaan secara komersial , penggandaan, pengumuman, pendistribusian atau komunikasi atas potret untuk kepentingan reklame atau periklanan dalam penggunaan secara komersial baik dalam elektronik maupun non elektronik;

7.      Lembaga Manajemen Kolektif yang tidak berizin operasional dari Menteri melakukan kegiatan penarikan royalti.

Pelanggaran Hak cipta akan terus berlanjut jika tanpa diimbangi dengan kesadaran masyarakat itu sendiri. Sebagaimana yang kita tahu bahwasannnya pembajakan di Indonesia masih banyak dilakukan bahkan dari berbagai macam kalangan dan akademisi. Sudah seharusnya pemerintah dan juga pihak yang berwenang menangani hak cipta dan mengambil tindakan agar pemegang hak cipta tidak kehilangan hak-haknya. Edukasi terhadap masyarakat pun perlu ditingkatkan agar mereka tahu bahwasannya ada peraturan perundang-undangan yang bisa mencegah dan memberikan sanksi pada siapa pun yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut.

Pandangan Islam Mengenai Hak Cipta

Sebab-sebab ditetapkannya sebuah hak cipta yaitu adanya suatu pekerjaan dan kesungguhan seorang pencipta dalam membuat sebuah karya cipta. Sebab dari perbuatan dan kerja keras itulah yang menjadi ciri  terhadap adanya hak kepemilikan bagi seseorang. Hal yang sama terkait kepemilikan dengan suatu usaha  dalam Islam sendiri dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 32, Allah berfirman:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

Artinya: “Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [11]      

Hadits yang mengungkapkan tentang kepemilikan atas hasil dari pekerjaan yaitu dari Abu Hurairah r.a ia berkata: aku mendengar Rasulullah S.A.W: bersabda “Berangkatlah kamu pagi-pagi, kemudian pulang memikul kayu bakar di punggungnya, kemudian bersedekah dengannya dan ia merasa cukup dengan itu sehingga tidak meminta-minta kepada orang banyak, itu lebih baik bagimu dari pada meminta-minta baik ia dikasih atau tidak. Karena tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah” (H.R Muslim)

Konsep Jual Beli Online di Marketplace dalam Perspektif Hukum Islam

Pengertian jual beli online

Jual beli online adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh penjual dan pembeli terhadap suatu barang produk atau jasa yang diperdagangkan secara online. Dalam hukum islam melakukan jual beli sama dengan bermuammalah yang pada dasarnya adalah al-ibahah atau diperbolehkan. Selama tidak ada dalil yang melarangnya, maka dasar melakukan jual beli online sama halnya dengan jual beli offline yakni hukumnya diperbolehkan dalam agama Islam. Meskipun dalam praktiknya tidak semua jual beli online atau offline hukumnya halal, namun ada juga yang haram.

Secara harfiah pengertian jual beli diambil dari dari dua suku kata yaitu “jual” yang memiliki arti menjual dan “beli” yang berarti kegiatan membeli. Sehingga bisa dikatakan transasksi jual beli adalah kegiatan menukar barang dengan uang atau uang dengan barang. Adanya suatu pertemuan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli di satu tempat untuk melakukan transaksi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Jual beli online dikategorikan dalam akad as-salam karena transaksi yang dilakukan dalam jual beli online adalah dengan membayar terlebih dahulu baru barang diserahkan kepada pembelinya. Maka hal itu bisa disebut dengan jual beli dengan pembayaran dimuka, sedangkan penyerahan barangnya di kemudian hari.[12] Dalil yang memperbolehkan jual beli dengan akad salam ini terdapat dalam Q.S Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi:

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗفَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَهٗ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَۗ وَمَنْ يَّكْتُمْهَا فَاِنَّهٗٓ اٰثِمٌ قَلْبُهٗ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ ࣖ

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[13]

Jual beli online merupakan jual beli yang dilakukan antara kedua belah pihak antara penjual dan pembeli yang melangsungkan transaksi di awal dan penyerahan barang di akhir. Sistem jual beli online sama dengan jual beli offline pada umumnya, hanya saja akad yang digunakan dalam bertransaksi berbeda. Hukumnya boleh selama tidak ada dalil yang melarang dengan ketentuan unsur-unsur di dalamnya tidak mengandung yang diharamkan, kecurangan dan tindakan kerusakan-kerusakan lainnya yang dibenci oleh Allah SWT.

Akad Jual Beli Buku Bajakan

Akad Salam

Jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli dan penjual. Spesifikasi dan  harga barang pesanan harus telah disepakati pada awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan di muka secara penuh. Ulama Syafi’iyah dan  Hanabilah mengungkapkan, salam adalah akad atas barang pesanan menggunakan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu, di mana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad. Ulama malikiyyah menyatakan, salam merupakan akad jual beli pada mana kapital (pembayaran) dilakukan secara tunai (di muka) dan  objek pesanan diserahkan kemudian dengan jangka waktu tertentu. Jual beli salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Alquran di antaranya: a. Surat Al-Baqarah: 282 yaitu:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya”[14]

Akad Wakalah

Wakalah berasal dari wazan wakala-yakiluwaklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Al-Wakalah juga berarti penyerahan (al Tafwidh) dan pemeliharaan (al-Hifdh). Wakalah dari Antonio (2011) artinya salah  satu akad tabarru' yaitu akad yang bersifat sosial. Wakalah ialah pelimpahan kekuasaan asal seseorang pada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Landasan syariah yang mendasari aplikasi akad wakalah ada pada Al-Qur'an, Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Q.S. Yusuf ayat 55:

قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi sangat berpengetahuan.”[15]

Media Online

Media online ialah media massa yang dapat ditemukan di internet, media online menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik dalam sistem kerjanya. Pada perspektif studi media atau komunikasi massa, media online menjadi objek kajian teori media baru (neewe media), yaitu istilah yang mengacu kepada permintaan akses ke konten (isi/berita) kapan saja di mana saja, waktu perangkat digital dan  umpan kembali pengguna interaktif, partisipasi kreatif  dan  pembentukan komunitas sekitar konten media, juga aspek generasi reel time. Jadi, pada hal ini jual beli secara online bisa jua dikatakan menjadi proses tukar menukar barang yang terhubung koneksi, aktif serta beroperasi melalui jaringan dengan media sosial.[16]

Semakin teknologi berkembang maka semakin canggih juga seseorang dalam memanfaatkan teknologi tersebut. Seolah tak pernah kehabisan akal, manusia terus berpikir untuk menciptakan sesuatu yang akan memudahkan mereka dalam pemenuhan berbagai jenis kebutuhan dan juga keinginan. Salah satu kegiatan yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari manusia adalah bertransaksi jual beli, bentuk jual beli kebutuhan primer maupun sekunder, benda hidup atau benda mati, bergerak ataupun tidak bergerak.

Media online bisa menjadi perantara seseorang dalam melakukan transaksi jual beli tanpa bertatap muka secara langsung, melainkan cukup dengan menggunakan sebuah media dalam bentuk handphone, laptop dan sejenisnya yang terkoneksi langsung dengan internet atau aplikasi yang sudah dilengkapi fitur-fitur yang disediakan.  Fitur-fitur tersebut akan memudahkan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi pembayaran, pemilihan barang dagangan serta pengiriman barang hingga akhirnya barang tersebut sampai ke tangan pembeli dengan aman dan dipastikan tidak terjadi suatu kesalahan.

Marketplace

Marketplace merupakan sebuah pasar virtual di mana pasar tersebut dijadikan sebagai tempat bertemunya antara penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi. Fungsi dari Marketplace sendiri sama halnya dengan pasar tradisional, perbedaannya jika Marketplace sudah lebih terkomputerisasi dengan menggunakan bantuan sebuah jaringan dalam mendukung sebuah pasar agar dapat melakukan secara efesien dalam menyediakan update informasi bagi penjual dan pembeli yang berbeda-beda.[17]

Marketplace menurut Iwan Setiawan dkk dalam jurnalnya yang berjudul Rancang Bangun Aplikasi Marketplace bagi usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbasis Web (Sub Modul: Pembelian), mengatakan bahwa Marketplace adalah aplikasi atau sistus web yang memberi fasilitas jual beli online dari berbagai sumber. [18] Artinya aplikasi tersebut menyediakan tempat dengan manfaatnya masing-masing sebagai perantara melakukan transaksi.

Marketpace yang dicakupkan dari dua sumber di atas mengandung pengertian bahwasannya Marketplace memiliki fungsi yang sama dengan pasar pada umunya yaitu sebagai tempat bertemunya antara penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi. Perbedaannya terletak pada bentuk pasar yang mempertemukan kedua belah pihak dan pelayanan transaksi dalam sebuah aplikasi atau website yang sudah tersistem dan terkoneksi dengan internet, sehingga mempermudah penjual dan pembeli dalam berkegiatan transaksi.

Pengertian Buku Bajakan

Buku merupakan sekumpulan atau tumpukan kertas yang dijilid menjadi satu bahan bacaan yang di dalamnya termuat dari beberapa halaman. Buku menjadi sumber wawasan ilmu pengetahuan, hiburan dan juga sumber informasi bagi semua orang khususnya kalangan masyarakat umum seperti pelajar, tenaga pengajar, pengusaha, dan profesi-profesi lainnya yang memanfaatkan buku sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

Pembajakan dalam pasal 1 ayat (23) UUHC Tahun 2014 menjelaskan bahwa pembajakan adalah penggandaan ciptaan dan/produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.[19] Dari dua pengertian tersebut bisa kita simpulkan bahwasannya yang dimaksud dengan buku bajakan adalah sekumpulan kertas yang dijilid menjadi bahan bacaan untuk dicetak, diperbanyak dan disebarluaskan tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta demi keuntungan komersial pribadi. Mereka yang melakukan praktek pembajakan buku tidak akan melihat seberapa penting dan besarnya nilai jual buku asli dari proses  yang seharusnya.

Tempat Penjualan Buku Bajakan

Buku-buku bajakan ini biasanya dijual dengan beberapa macam cara dan tempat disesuaikan dengan target pemasaran pelaku penjual buku bajakan. Ada yang menjual dengan menawarkannya secara langsung, menjual di sebuah toko yang bisa dikunjungi secara tatap muka oleh konsumen, bahkan pada zaman modern ini penjual dan pembeli buku bajakan bisa bertransaksi dari jarak jauh menggunakan sebuah aplikasi atau website tertentu.

Seorang penjual yang menawarkan buku bajakan secara langsung, baik secara  pribadi atau lewat toko buku yang beredar di pasaran biasanya sebagian besar dari mereka tidak memberitahu konsumen bahwa buku-buku yang dijual merupakan buku-buku ilegal. Begitupun konsumen yang membeli buku bajakan, mereka bisa saja mengetahui dan tidak mengetahui buku apa saja yang termasuk ke dalam pembajakan. Semua itu tergantung dari pembeli yang dapat menilai kualitas buku secara langsung.

Berbeda dengan toko buku yang menjual buku bajakan secara langsung, toko buku online bisa diakses oleh para pembeli yang ingin mencari dan mendapatkan buku dengan mudah dan cepat. Kelebihan dalam jual beli online ini yaitu pembeli bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan menggunakan fitur-fitur transaksi yang sudah tersedia. Dimulai dari pemilihan barang, pembayaran dan proses pengiriman barang. Namun kelemahannya adalah pembeli tidak bisa memperhatikan secara langsung apakah barang atau buku yang dijual termasuk ke dalam buku bajakan atau tidak.

Klasifikasi buku bajakan

Halaman awal buku selalu tercantum peraturan perundang-undangan yang mengatur pembajakan. Tertulis dengan jelas hukumannya bisa kurungan penjara hingga 4 tahun dan denda mulai dari 100 juta sampai 4 milyar rupiah. Tapi tetap saja ada oknum-oknum yang tetap nekat mengutip, memproduksi, mempublikasi dan menerjemahkan tanpa izin pemegang hak cipta.

Beberapa klasifikasi dari buku bajakan yang bisa diketahui diantaranya warna rupa sampul berbeda serta tidak ada finishing, kualitas kertas serta tinta rendah, bagian perekat dan halaman yang tidak rapih, Harga yang murah serta tidak lumrah[20] Dilihat dari segi kualitas dan kuantitas buku bajakan dan buku asli tentunya keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Meskipun buku asli harganya lebih tinggi, namun dari sisi kenyamanan membaca dan perlindungan hak ciptanya sudah tertera dengan jelas. Sehingga dengan membeli buku asli sama saja dengan menghargai dan mengapresiasi para penulis dan penerbit. Berbeda jika yang dibeli merupakan buku bajakan, bukannya memberi keuntungan tapi malah memberikan kerugian bagi banyak pihak.

 

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Praktik Jual Beli Buku Bajakan di Marketplace Lazada

Praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada tidak jauh berbeda dengan praktik jual beli pada umumnya, pembeli dan penjual sama-sama men-download aplikasi Lazada terlebih dahulu di Play Store atau bisa masuk melalui akun Lazada resmi di Lazada.co.id setelah itu penjual dan pembeli harus melengkapi persyaratan untuk menjadi seller dan pengguna akun Lazada. Proses pendaftaran bisa melalui email atau nomor handphone yang masih aktif setelah itu pengguna bisa melakukan transaksi jual beli sesuai yang dibutuhkan. Dengan mencari produk di nama pencarian, setelah produk ditemukan kemudian pilih dan buat pesanan. Untuk membuat pesanan, pembeli harus melengkapi persyaratan seperti mengisi alamat lengkap pengiriman barang, ekspedisi pengiriman dan proses pembayaran bisa dilakukan melaui transfer bank atau COD (cash on delivery) setelah semuanya selesai, pembeli bisa menunggu barang 3-7 hari. Untuk penjual bisa memulai menjual produknya setelah memenuhi persyaratan sebagai seller, salah satunya dengan melengkapi alamat toko, verifikasi identitas seller dengan menggunakan KTP dan melengkapi perlengkapan produk yang dijual.

Salah satu syarat menjual produk di aplikasi Lazada yaitu produk atau barang tidak termasuk ke dalam barang  ilegal. Namun pada kenyataannya sebagian besar buku-buku yang dijual oleh toko online Lazada merupakan buku-buku bajakan. Sumber buku yang didapatkan oleh penjual berasal dari agen dengan sistem penjualan sesuai dengan kesepakatan harga. Artinya, pihak toko atau penjual tidak terpaku pada kualitas buku (bajakan atau asli). Jika harga buku disepakati oleh kedua belah pihak yaitu antara agen dan penjual buku, maka pihak toko akan membelinya.

Beberapa penjual juga mengakui bahwa mereka ada yang mengetahui dan tidak mengetahui tentang undang-undang hak cipta, di aplikasi Lazada sendiri terdapat ketentuan dilarang menjual produk-produk ilegal termasuk salah satunya buku bajakan. Apabila penjual tetap melakukan transaksi jual beli barang ilegal maka ada tindakan berupa teguran dari pihak Lazada kepada penjual untuk memperbaiki produk. Atau jika ada penerbit dan penulis yang komplain terkait buku yang dipasarkan penjual termasuk buku bajakan, maka Penjual harus menghapusnya dari produk toko.[21]

Kurangnya pengetahuan terkait peundang-undangan hak cipta oleh penjual menjadikannya kurang teliti dalam melakukan kesepakatan jual beli buku dengan agen. Dengan begitu penjual tidak memperhatikan jenis dan kualitas buku yang dijual kembali kepada konsumennya. Meskipun di samping itu penjual mengetahui adanya ketentuan larangan menjual produk ilegal. Penjual buku juga kurang mengetahui spesifikasi buku bajakan dan buku asli karena yang menjadi patokannya sebatas pada harga. Seharusnya penjual mengetahui salah satu spesifikasi dari buku bajakan seperti harganya yang murah dan dijual di bawah harga aslinya.

Pentingnya mengetahui spesifikasi buku bajakan tidak sekedar ditujukkan kepada penjual, melainkan kepada pembeli itu sendiri agar  terhindar dari praktik jual beli barang ilegal. Menurut hasil wawancara penulis dengan Fadlih, seorang mahasiswa yang pernah membeli buku bajakan. Ia mengakui secara tidak sengaja membeli buku tersebut karena ia kurang jeli dalam memilih buku yang ia beli dari toko tersebut, sehingga ia baru menyadari bahwa buku itu bajakan setelah bukunya datang. Secara tidak langsung Fadlih memang ingin membeli buku yang asli, namun karena ia melihat ada harga buku yang lebih murah jadi ia lebih memilih buku yang belum diketahui bajakan tersebut.[22] Sama halnya dengan Anita, mahasiswa semester akhir jurusan Matematika ini pernah membeli buku secara kolektif dengan teman-teman sekelasnya atas permintaan dosen pengajar. Penulis melihat adanya kesamaan ketidaktelitian dalam memilih dan membeli buku di Marketplace.[23] Fadlih dan Anita mengetahui buku tersebut bajakan setelah bukunya sampai di tangan. Alhasil mereka sangat kecewa karena ekspektasi mereka hanya ingin  membeli buku asli dengan harga yang lebih murah.

Pembajakan buku menurut hukum positif

Pembajakan buku bisa dilakukan oleh siapapun termasuk mahasiswa, dosen, dan profesi dibidang lainnya. Namun ada juga yang  melakukan pembajakan karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Beberapa faktor seseorang melakukan pembajakan buku adalah karena faktor ekonomi, keuntungan pribadi, atau kebutuhan pendidikan  yang sangat tinggi dan langka sehingga sangat memungkinkan bagi siapapun untuk melakukan pembajakan. Contohnya seperti seorang pelajar yang disarankan oleh dosen atau gurunya melakukan fotocopy / menggandakan  bahan ajar dari sebuah buku yang sulit didapatkan. Namun tak terlepas dari semua itu, tetap saja kegiatan tersebut termasuk melanggar undang-undang Hak Cipta.

Pengecualian hak cipta yang termuat dalam pasal 44 ayat (1) huruf (a) Undang-undang hak cipta yang seringkali dipergunakan sebagai alasan dalam pemenuhan pendidikan diperbolehkan melakukan pembajakan selama sumbernya disebutkan. Dalam pasal 46 Undang-undang hak cipta juga menyebutkan bahwasannya penggandaan untuk kepentingan pribadi hanya boleh dilakukan satu kali tanpa izin pemegang hak cipta.

Masalah yang terjadi pada saat ini adalah banyaknya tempat-tempat fotokopi dan juga penjual buku-buku bajakan baik yang ditemui secara langsung atau melalui aplikasi online  yang melakukan penggandaan dengan jumlah yang banyak tanpa melihat kerugian pihak lain. Mereka dengan sengaja menjual buku-buku bajakan bukan sebagai kebutuhan yang mendesak saja melainkan untuk memperoleh keuntungan secara pribadi. Hal tersebut yang pada dasarnya termasuk ke dalam pelanggaran undang-undang hak cipta karena sudah jelas tidak termasuk ke dalam pengecualian yang terdapat di atas. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ancaman yang ditetapkan melalui Pasal 114 Undang-Undang Hak Cipta adalah denda mencapai Rp. 100.000.000 (Seratus juta rupiah) bagi pengelola atau tempat perdagangan yang secara sengaja membiarkan adanya praktik pembajakan dimulai dari penjualan, penggandaan  barang hasil pelanggaran hak cipta.

Pasal 84 Undang-undang hak cipta yang di dalamnya memberikan batasan dalam menyalin dan menggandakan karya cipta atas buku dengan cara lisensi wajib (compulsory licensing). Kebebasan yang berkaitan dengan penggunaan hak cipta tidak menidakan kewenangan negara sebagai otoritas dalam mewajibkan pencipta untuk memberikan lisensi wajib pada pihak lain dalam menerjemahkan atau melakukan penggandaan dengan honororium yang sebanding.[24]

Undang-undang di atas menetapkan adanya pembatasan dan pengecualian dalam melakukan penggandaan terhadap suatu ciptaan buku / karya, hal tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk tindakan memudahkan pembaca yang diberikan oleh pemerintah dengan tidak terlepas dari ketentuan sebagaimana mestinya. Namun bukan berarti juga buku-buku diluar pendidikan seperti novel, komik, majalah atau lainnya bisa dicetak, dijual dan disebarluaskan seenaknya. Tetap harus berdasarkan izin pencipta atau pemegang hak cipta itu sendiri sehingga di dalamnya terjalin suatu kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Mengikuti wawancara dengan salah satu pemegang hak cipta, Bapak Tri Prasetyo mengakui bahwa persaingan jual beli buku bajakan cukup serius disaat penerbit mulai masuk ke dalam Marketplace. Beberapa bentuk pelanggaran mulai terjadi dilihat dari kurangnya kesadaran masyarakat khususnya dari pelanggaran hak cipta. Tindak pembajakan buku sudah pasti merugikan beberapa pihak termasuk  pemegang hak cipta. Pemegang hak cipta memiliki wewenang dalam mendistribusikan buku-bukunya. Jika ada pihak lain yang mengambil hak tersebut tanpa seizin pemegang hak cipta maka itu termasuk ke dalam pelanggaran. Secara hukum kasus pembajakan buku masuk ke dalam hukum perdata delik aduan, artinya jika tidak ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan maka tidak ada tindakan dari pihak kepolisian kepada para penjual buku-buku bajakan. Perlu proses yang cukup panjang dan biaya yang tidak sedikit untuk membawa kasus ini ke pengadilan, maka dari itu pihak penerbit bekerja sama dengan para penulis besar yang buku-bukunya dibajak di Marketplace dengan sampel buku-buku best seller.

Persoalan  terkait kasus pembajakan buku menjadi cukup kompleks ketika pemegang hak cipta melibatkan Marketplace sebagai pihak ketiga dalam penjualan buku-buku mereka. Terutama untuk penjualan buku-buku best seller yang bisa memberikan keuntungan cukup besar. Sedangkan jika dilihat hasil dari wawancara, pada waktu itu hanya ada 9 toko buku online yang memiliki penerbit. Arrtinya penjualan buku-buku secara legal memang cukup terbatas sehingga memungkinkan untuk penjual buku-buku bajakan membuka lapak sendiri dan menjual buku-buku mereka tanpa ada izin yang resmi.[25]

Kenyataannya yang terjadi pada praktik jual beli buku bajakan di beberapa toko online Marketplace Lazada khususnya di toko buku online TB Moralin telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (17) tentang pendistribusian, Pasal (8) tentang hak ekonomi. Serta ketentuan dalam undang-undang  Pasal 9 ayat (1) huruf b, d dan e di mana toko buku secara langsung mengadakan penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya, melakukan perubahan dari segi bentuknya dan menjual ciptaan tanpa seizin pemegang hak cipta. Pasal 9 ayat (3) menjelaskan bahwa setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan penggandaan/dan atay Penggunaan secara komersial Ciptaan.

Seseorang atau lembaga yang berwenang melakukan penggandaan, perubahan dan pendistribusian adalah pemegang hak ciptanya yaitu dalam hal ini adalah penerbit dan penulis. Dalam kasus jual beli buku bajakan, para distributor mengambil alih hak-hak tersebut tanpa adanya izin dari pemegang hak cipta. Sehingga pemegang hak cipta tidak memiliki royalti/keuntungan dari hasil ciptaannya. Buku merupakan salah satu karya yang dilindungi seperti yang disebutkan pada pasal 40 ayat (1).

Pembajakan Buku Menurut Hukum Islam

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam fatwa MUI adalah kekayaan yang timbul dari hasil pikir olah otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia dan diakui oleh Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas  intelektual dari yang bersangkutan sehingga memberikan hak privat baginya untuk mendaftarkan dan mendapatkan perlindungan atas karya intelektualnya.

Bentuk Penghargaan atas karya kreativitas intelektualnya tersebut Negara memberikan Hak Ekslusif kepada pendaftarannya dan/atau pemiliknya. sebagai Pemegang Hak mempunyai hak untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuan atau tanpa hak, memperdagangkan atau memakai hak tersebut dalam segala bentuk dan cara. Tujuan pengakuan hak ini oleh Negara adalah setiap orang terpacu untuk menghasilkan kreativitas-kreativitasnya guna kepentingan masyarakat secara luas. HKI meliputi hak cipta yaitu hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

HKI dalam hukum Islam dipandang sebagai salah satu huquq maliyyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum (mashum) sebagaimana mal (kekayaan), HKI yang mendapat perlindungan hukum Islam ialah HKI yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. HKI dapat dijadikan obyek akad (al-ma’qud alaih), baik akad muawadhah (pertukaran, komersial) maupun akad tabbarru’at (nonkomersial) serta dapat diwaqafkan atau diwariskan. Setiap bentuk pelanggaran HKI, termasuk namun tidak terbatas menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu, membajak HKI milik orang lain secara tanpa hak merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram.[26]

Buku bajakan yaitu buku yang dijiplak, diperbanyak, disebarluaskan atau dipublikasikan tanpa adanya izin dari pemegang hak cipta. Naskah atau karya yang sudah dibukukan kemudian diberi hak cipta sudah pasti diakui Negera dan memiliki nilai ekonomis bagi penciptanya. Sehingga dengan adanya pengakuan tersebut diharapkan tidak ada pihak lain yang mengambil manfaat dari ciptaan, terkecuali bagi seseorang yang diberi izin untuk melakukannya.

Praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada merupakan salah satu tindakan yang melanggar hukum, salah satunya Fatwa MUI Nomor: 1/MUNAS VII/5/2005 meliputi Hak Cipta karena pembajakan buku termasuk menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu, membajak HKI milik orang lain secara tanpa hak dan itu termasuk kepada kezaliman dan hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Asy-Syu’ara ayat 183:

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ ۚ

 

Artinya:

“Janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi”[27]

Al-Qur’an meletakkan ilmu pengetahuan sebagai sebuah instrumen yang sangat tinggi nilainya bagi manusia. Manusia dituntut untuk bert-ta’aqqul (menggunakan akal), tafakkur (berpikir), tadzakkur (mengingat-ngingat), tadabbur (berkontemplasi), tanadhdhur (berteori), serta tabashshur (observasi). Semua itu menunjuk pada aktivitas intelektual. Orang dilarang menempuh suatu perbuatan tanpa dengan dasar rasionalitas atau argumen yang jelas, karena semua aransemen penyerap ilmu itu nanti akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat Al-Isra’ ayat 36

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

Artinya: “Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”[28]

Ayat di atas merupakan salah satu seruan Al-Qur’an yang memberikan dorongan kepada penganutnya untuk memberikan respect yang tinggi terhadap aktivitas intelektual. Karena sangat pentingnya imu itulah maka mengajarkan ilmu, menyebarkan, menginformasikan dan saling menyampaikan kebenaran ilmu menjadi sebuah keharusan dalam sistem sosial Islam. Kata-kata ilmu misalnya disebut dalam Al-Qur’an surat Al-‘Asr ayat 3

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ

Artinya: “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.”[29]

Islam menganjurkan agar senantiasa diupayakan hal-hal yang bisa memfasilitasi tersebarnya ilmu pengetahuan. Kalau hal ini dikaitkan dengan konteks kenegaraan, maka pemerintah sebuah negara adalah mengupayakan pencerdasan bangsa dengan mencukupi segala yang diperlukan untuk itu. Ilmu bukanlah sesuatu yang ellits sifatnya, bukan hanya untuk orang-orang yang kaya yang mampu membayar tinggi sebuah hak cipta. Karena kalau ilmu hanya bisa beredar di kalangan elit (ekonomi) maka orang-orang niskin akan sulit mendapatkan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan atau penemuan dalam konsep hak milik merupakan sebuah kekayaan immateril, hak milik intelektual adalah hak yang bukan kebendaan (materill).  Sedangkan di dalam Islam (mu'amalah) dikenal adanya berbagai macam hak dari seseorang. Mu'amalah bisa diakomodasi adanya hak kebendaan dan hak non kebendaan, atau hak materiil dan hak immateriil. Kemudian, hak milik intelektual mirip dengan hak-hak non kebendaan yang lain seperti hak tagih, hak sewa, hak guna bangunan, dan yang sejenisnya. Islam mengakui adanya konsep kepemllikan yang seperti itu, karena seseorang mendapatkan itu atas upayanya sendiri, dia mencari sesuatu (re search) dan akhirnya mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan oleh crang lain. Sehingga, sebuah penemuan, bisa saja dijual oleh pemiliknya dengan imbalan nilai ekonomi tertentu.

Islam melarang adanya proteksi hak milik intelektual yang mengakibatkan orang lain tidak bisa mengetahui sebuah hasil penemuan atau inovasi tertentu misalnya, namun juga tidak bisa dikatakan bahwa kepemilikan terhadap hak intelektual yang bersifat immateriil itu tidak memiliki tempat dalam hukum Islam. Karena, intellectual property rights, sebagai sebuah bentuk dari kepemilikan harta benda, dia adalah syah. Untuk itulah, dalam permasalahan ini harus ada penyelesaian yang mengakomodasikan keduanya.

Anjuran untuk saling mengajarkan ilmu pengetahuan, yang karenanya mencari ilmu itu wajib, maka kewajiban itu telah menjadikan bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu tidak beda dengan hak asasi, yakni bahwa adaiah hak asasi bagi setiap orang untuk bisa mengetahui sesuatu perkembangan ilmu pengetahuan. Semua bentuk penghalangan terhadap hal ini harus diupayakan bentuk penyelesaiannya. Dalam saat yang sama, tidaklah seimbang apabila sebuah karya seseorang, yang diraih dengan upaya dalam bentuk biaya, waktu dan tenaga, itu kemudian tidak dihargai dengan bentuk materi, sehingga di satu sisi, ini akan mematikan daya kreasi umat manusia, orang sangat bisa jadi, akan berpikir ulang untuk menekuni sebuah penelitian dan inovasi.

Keberadaan sebuah negara dalam hal ini sangat diperlukan, pemerintahan negara harus memainkan peranan untuk menjembatani dua kepentingan tersebut tanpa harus mengalahkan salah satunya. Apabila sebuah negara membiarkan hal ini berlangsung dengan mekanisme pasar, orang akan sulit menjamin tidak timbulnya ilmu pengetahuan (intelektual property rights). Negara harus memberikan imbalan ekonomi dalam penemuan-penemuan yang menyangkut kepentingan orang banyak, yang karenanya orang akan bisa bebas menggunakannya. Sehingga, pemerintah bertanggung jawab untuk menghilangkan semua hambatan-hambatan ekonomis yang menghalangi 'hak untuk mengetahui sebuah perkembangan ilmu' bagi setiap warga negara. Karena sama sekali tidak masuk akal, apabila di satu sisi seorang muslim diwajibkan nienuntut ilmu sampai kapan dan di mana saja, namun dalam satu waktu pemerintahan (muslim) dengan sengaja menciptakan hambatan untuk tertunajkannya kewajiban itu.[30]

Banyak buku-buku ilmu pengetahuan yang dijual dengan harga tinggi, baik dikalangan para guru, mahasiswa dan profesi-profesi lainnya. Fenomena seperti ini tentunya bisa menyulitkan para pembaca untuk membeli buku-buku yang asli dengan harga yang mahal. Sehingga salah satu jalan pintas untuk bisa memiliki buku tersebut adalah dengan membeli buku bajakan. Meskipun di sisi lain ada pihak yang merasa dirugikan karena ciptaannya dipergunakan melalui cara yang ilegal. Di sini akan terjadi sebuah kedilemaan antara ketidakmampuan dalam membeli ilmu pengetahuan dan juga memaksa membelinya namun akan ada pihak yang dirugikan. Sebagaimana Islam, Islam menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan dan menyebarluaskannya namun Islam juga melarang perbuatan yang akan merugikan hak orang lain.

Salah satu jalan keluar yang bisa diambil dari kedua persoalan tersebut yaitu Negara harus bisa menjembatani antara keduanya dengan pengambilalihan hak cipta.  Pemerintah harus bisa mengapresiasi hak-hak pencipta dengan penghargaan berupa nilai manfaat ekonomi sehingga karya-karyanya bisa dinikmati oleh semua kalangan tanpa adanya batasan-batasan tertentu. Dengan begitu, semua masyarakat Indonesia yang ekonominya rendah pun tetap bisa mencari dan menggunakan ilmu pengetahuan dengan leluasa dan tanpa adanya pelanggaran terhadap hak cipta.

Upaya Pemegang Hak Cipta dalam Meminimalisir Tindak Pembajakan Buku

Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelanggaran yang terjadi pada praktik jual beli buku bajakan dan peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang Hak Cipta, membuat beberapa pihak khususnya pemegang hak cipta bergerak mencari solusi dan jalan tengah terkait penjualan buku bajakan khususnya di Marketplace. Penulis pun mewawancarai salah satu Pemegang Hak Cipta yaitu Bapak Tri Prasetyo yang pernah menangani kasus jual beli buku bajakan di Marketplace. Menurut hasil wawancara di atas, ada beberapa cara dan upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir terjadinya tindak pembajakan buku khususnya di Marketplace. Upaya tersebut akan membantu semua pihak yang terlibat dalam proses jual beli buku terhindar melakukan transaksi secara ilegal. Baik penulis, penerbit, penjual, pembeli dan profesi-profesi lain yang ikut serta dalam penerbitan buku semuanya memiliki keuntungan dan apresiasi dari hasil kerja kerasnya masing-masing. Beberapa upaya yang disebutkan diantaranya.[31] Pertama, edukasi merupakan hal yang mudah dan sederhana untuk dilakukan semua kalangan khususnya penulis dan penerbit ataupun dari kalangan pelajar dan mahasiswa, kebanyakan beberapa pembeli buku bajakan tidak terlalu mengetahui spesifikasi buku bajakan dengan baik yang akhirnya membuat ia tetap membeli buku yang lebih murah. Dengan adanya edukasi terkait spesifikasi buku bajakan kepada masyarakat umum termasuk pembeli dan penjual setidaknya akan mengurangi niat mereka dalam melakukan jual beli secara ilegal.

Kedua, ketika pembaca menyadari bahwa buku yang ia beli merupakan buku bajakan, sebaiknya pembaca melaporkan kepada pemegang hak cipta baik kepada penulis ataupun penerbit bahwa telah terjadinya pembajakan buku, sehingga penerbit atau penulis bisa menegur langsung penjual buku-buku bajakan tersebut untuk menghapusnya dari toko sebelum akhirnya ada tindak lanjut dari pihak yang berwajib (kepolisian).

Ketiga, pemegang hak cipta membuat Marketplace sendiri, artinya penulis atau penerbit tidak melibatkan distributor dalam menjual buku-bukunya. Hal ini akan meminimalisir tindak pembajakan buku sekaligus memotong biaya produksi sehingga buku-buku yang dijual menjadi lebih murah, dan pembaca akan tertarik untuk memilih membeli buku asli dari pada membeli buku bajakan yang sudah jelas kualitasnya lebih rendah.

Keempat, marketplace harus memiliki izin dari penerbit atau pemegang hak cipta ketika akan menjual buku-buku yang dipasarkan, sehingga pihak Marketplace lebih leluasa  karena jual beli dilakukan secara legal dan tentunya tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan.

Kelima, penjual buku bajakan dijadikan sebagai mitra oleh penerbit dengan catatan penjual harus menjual buku-buku yang asli. Dengan menjadikannya sebagai mitra, maka kedua-duanya mendapatkan keuntungan, penerbit jadi memiliki distributor yang akan menjualkan buku-bukunya dan penjual buku akan mendapat bagian karena telah menjual buku-buku tersebut. sehingga pemegang hak cipta tidak perlu mengeluarkan biaya untuk melaporkan pihak penjual buku bajakan kepada kepolisian daerah untuk ditindaklanjuti.

Upaya dalam meminimalisir adanya tindak pembajakan buku tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi jalan tengah agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Semua pihak yang terlibat dalam praktik jual beli buku bajakan bisa bekerja sama dengan baik jika mereka mau terbuka dan jujur. Begitupun tujuan penulis membuat penelitian ini salah satunya untuk memberikan gambaran dan pengetahuan terkait pentingnya memahami undang-undang hak cipta.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan 3 (tiga) macam, yaitu pertama, praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada tidak jauh berbeda dengan praktik jual beli pada umumnya, pembeli dan penjual sama-sama men-download aplikasi Lazada terlebih dahulu di Play Store atau bisa masuk melalui akun Lazada resmi di Lazada.co.id setelah itu penjual dan pembeli harus melengkapi persyaratan untuk menjadi seller dan pengguna akun Lazada.

Kedua, Praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada merupakan salah satu tindakan yang melanggar hukum, salah satunya Fatwa MUI Nomor: 1/MUNAS VII/5/2005 meliputi Hak Cipta karena pembajakan buku termasuk menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu, membajak HKI milik orang lain secara tanpa hak dan itu termasuk kepada kezaliman dan hukumnya haram. Sedangkan praktik jual beli buku bajakan di Marketplace Lazada khususnya di toko buku online TB Moralin  telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (17) tentang pendistribusian, Pasal (8) tentang hak ekonomi. Serta ketentuan dalam undang-undang  Pasal 9 ayat (1) huruf b, d dan e di mana toko buku secara langsung mengadakan penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya, melakukan perubahan dari segi bentuknya dan menjual ciptaan tanpa seizin pemegang hak cipta.

Dan ketiga, upaya pemegang hak cipta dalam meminimalisir tindak pembajakan buku yaitu dengan cara pertama, edukasi kepada masyarakat umum terkait spesifikasi buku bajakan dan bentuk pelanggaran hak cipta. Kedua, melaporkan pihak-pihak penjual buku bajakan kepada penerbit dengan tujuan pemegang hak cipta akan melaporkannya kepada kepolisian daerah. Ketiga, pemegang hak cipta membuat Marketplace sendiri. Keempat, penjual buku harus memiliki surat izin menjual buku-buku dari penerbit. Dan kelima, menjadikan penjual buku bajakan sebagai mitra untuk diajak bekerja sama dalam menjual buku asli.

 

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Daharmi. “Persepsi Masyarakat Terhadap Akad Jual Beli Online Perspektif Ekonomi Syariah,” dalam Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, Vol.  1, No. 1 (Juni, 2018).

Atsar, Abdul. Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2018.

Dame Hutauruk, Betti. Et al. “Analisis dan Perancangan Aplikasi Marketplace Cinderamata Khas Batak Berbasis Android,” dalam Jurnal Methoodika, Vol. 3, No. 1 (Maret, 2017).

Echdar, Saban. Metode Penelitian Manajemen dan Bisnis. Makassar: Ghalia Indonesia, 2017.

Eduardus Christiano, Bryan. “Implikasi Perubahan Delik Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014  Tentang Hak Cipta Terhadap Detterence Effect Praktik Pembajakan Buku Akademis di Indonesia,” dalam Padjajaran Law Review, Vol. 9, No. 1 (2021).

Handayani Amaliah, Tri. “Peningkatan Kompetensi Mahasiswa Melalui Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah dengan Menggunakan Metode Kualitatif  dalam Masa Pandemi Covid 19”, dalam Jurnal Ilmiah Pengabdhi, Vol. 7, No. 2 (Oktober, 2021).

https://www.gramedia.com/blog/kenali-ciri-buku-bajakan-pahami-kerugiannya/

Jannah, Maya. “Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam Hak Cipta Indonesia,” dalam Jurnal Ilmiah (Advokasi), Vol. 6, No. 2 (September, 2018).

Lazuardi Alkhaf, Alvin. Relevansi Perlindungan Hukum antara Penulis dan Penerbit Selaku Pemegang Hak Cipta Atas Pembajakan Buku Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2020.

Pandoy, Axcel . “Tindak Pidana Hak Cipta Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,” dalam Lex Crimen, vol.  8, No. 1 (Januari, 2018).

Setiawan, Iwan. Et al. “Rancang Bangun Aplikasi Marketplace bagi usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbasis Web (Sub Modul: Pembelian),” dalam Jurnal Teknik Informatika, Vol. 10, No. 3 (Agustus, 2018).

Triyanta, Agus. “Hak Milik Intelektual dalam Pandangan Islam,” dalam Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 8 (Juni, 2001).

Wati, Anida. Analisis Peranan Objek Wisata Talang Indah Terhadap Peningkatan Pendaftaran Masyarakat Menurut Perspektif Ekonomi Islam. Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan, 2018.

Wisyahban, Risman. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Jual Beli Buku Bajakan di Toko Buku Kairo Kota Bandung. Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2018.

Yuki Prasetyawati, Farah. Et al. “Studi Komparatif Perbedaan Optimisme Pembelajaran Daring pafa Mahsiswa Berdasarkan Jenis Kelamin,” dalam Jurnal Pendidikan Dompet Duafa, Vol. 11, No. 1 (Mei, 2021).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Alvin Lazuardi Alkhaf, “Relevansi Perlindungan Hukum antara Penulis dan Penerbit Selaku Pemegang Hak Cipta Atas Pembajakan Buku Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,” Skripsi Tidak diterbitkan (Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 2020).

[2] Risman Wisyahban, “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Jual Beli Buku Bajakan di Toko Buku Kairo Kota Bandung” Skripsi Tidak diterbitkan (Bandung: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2018).

[3] Anida Wati, “Analisis Peranan Objek Wisata Talang Indah Terhadap Peningkatan Pendaftaran Masyarakat Menurut Perspektif Ekonomi Islam” Skripsi Tidak Diterbitkan (Lampung: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Raden Intan, 2018), 14.

[4] Tri Handayani Amaliah, “Peningkatan Kompetensi Mahasiswa Melalui Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah dengan Menggunakan Metode Kualitatif  dalam Masa Pandemi Covid 19”, dalam Jurnal Ilmiah Pengabdhi, Vol. 7, No. 2 (Oktober, 2021): 90.

[5] Saban Echdar, Metode Penelitian Manajemen dan Bisnis (Makassar: Ghalia Indonesia, 2017), 288.

[6] Saban Echdar, Metode Penelitian Manajemen dan Bisnis, 293.

[7] Farah Yuki Prasetyawati, Rizal Galih Pradana dan Ahmad Mukhibun, “Studi Komparatif Perbedaan Optimisme Pembelajaran Daring pafa Mahsiswa Berdasarkan Jenis Kelamin,” dalam Jurnal Pendidikan Dompet Duafa, Vol. 11, No. 1 (Mei, 2021): 4.

[8] Abdul Atsar, Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2018), 31.

[9] Maya Jannah, “Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam Hak Cipta Indonesia,” dalam Jurnal Ilmiah (Advokasi), Vol. 6, No. 2 (September, 2018): 57.

[10] Axcel Pandoy, “Tindak Pidana Hak Cipta Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,” dalam Lex Crimen, vol.  8, No. 1 (Januari, 2018): 170.

[11] Q.S.  An-Nisa (4): 32.

[13] Q.S. Al-Baqarah (2): 283.

[14] Q.S. Al-Baqarah (2): 282.

[15] Q.S. Yusuf (12): 55.

[16] Daharmi Astuti, “Persepsi Masyarakat Terhadap Akad Jual Beli Online Perspektif Ekonomi Syariah,” dalam Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, Vol.  1, No. 1 (Juni, 2018): 20.

[17] Betti Dame Hutauruk, dkk, eds,. “Analisis dan Perancangan Aplikasi Marketplace Cinderamata Khas Batak Berbasis Android,” dalam Jurnal Methoodika, Vol. 3, No. 1 (Maret, 2017): 243.

[18] Iwan Setiawan, dkk, eds,. “Rancang Bangun Aplikasi Marketplace bagi usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbasis Web (Sub Modul: Pembelian),” dalam Jurnal Teknik Informatika, Vol. 10, No. 3 (Agustus, 2018): 38.

[19] Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014

[21] Wawancara via WhatsApp dengan Distributor Toko Buku Bajakan TB Moralin, Tanggal 9 Februari 2022 Pukul 13.39 WIB.

[22] Wawancara dengan Fadlih selaku mahasiswa yang membeli buku bajakan, Tanggal 07 Februari 2022 pukul 14.43 WIB.

[23] Wawancara dengan Anita selaku mahasiswa yang membeli buku bajakan, Tanggal 20 Mei 2022 pukul 10.45 WIB.

[24] Bryan Eduardus Christiano, “Implikasi Perubahan Delik Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014  Tentang Hak Cipta Terhadap Detterence Effect Praktik Pembajakan Buku Akademis di Indonesia,” dalam Padjajaran Law Review, Vol. 9, No. 1 (2021).

[25] Wawancara dengan Bapak Tri Prasetyo selaku Pemimpin Redaksi Gradien Mediatama, Tanggal 03 Februari 2022 Pukul 10.15 WIB.

[26] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 1/MUNAS VII/MUI/5/2005 Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

[27] Q.S. Asy-Syu’ara (26): 183.

[28] Q.S. Al-Isra (17): 36.

[29] Q.S. Al-Asr (103): 3.

[30] Agus Triyanta, “Hak Milik Intelektual dalam Pandangan Islam,” dalam Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 8 (Juni, 2001): 36-39.

[31] Wawancara dengan Bapak Tri Prasetyo selaku Pemimpin Redaksi Gradien Mediatama, Tanggal 03 Februari 2022 Pukul 10.15 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMAHAMI PERMASALAHAN MANAJEMEN DAN ADMINISTRASI ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH, WAKAF DI INDONESIA

MEDIASI DALAM HUKUM SYARIAH